Mempertanyakan Pendidikan Indonesia

Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari tulisan sahabat saya, Nandi, tentang Generasi Karbitan. Saya sebenarnya memiliki kegelisahan yang sama. Apakah memang kurikulum di Indonesia ini yang salah, atau memang individunya yang tidak beres, atau ini masih dalam proses?

Saya belum pernah ke luar negri (sahabat saya tadi itu sudah). Tetapi saya sering mendengar cerita tentang bagaimana pendidikan di luar negri sana. Katanya, anak – anak di Jepang dari kecil sudah terbiasa untuk pergi berangkat sekolah tidak diantar, tetapi bergabung dalam kelompok – kelompok kecil dan pergi berangkat ke sekolah bersama (katanya…). Kemudian tentang anak setingkat SMP di Amerika yang tidak dijejali semua mata pelajaran, mulai dari Geografi, Biologi, Fisika, Akuntansi, Matematika, Ekonomi, dll. Bahkan (katanya lagi nih). Bahkan salah seorang teman saya yang lain berkomentar cukup sinis, wajar kalau olimpiade tingkat SMA Indonesia bisa juara dunia, karena di luar sana integral saja baru diperkenalkan secara resmi di bangku kuliah. Sulit untuk mengcross-check cerita – cerita itu, mungkin anda – anda yang pernah / sedang hidup di luar negri bisa mengklarifikasi.

Lalu saya juga pernah membandingkan jumlah SKS tingkat Strata-1 di luar negri dengan di Indonesia. Saya membandingkan jurusan saya sendiri (Teknik Fisika), dengan jurusan sejenis di Jepang. Sangat jauh ternyata, di jurusan saya ini (di UGM), saya harus menyelesaikan 144 SKS untuk mendapatkan gelar sarjana, sementara di Jepang “hanya” butuh 77 SKS. Walaupun mungkin kedalaman materinya berbeda.

Seorang teman saya yang lain, pernah diutus jadi perwakilan Fakultas Teknik UGM untuk presentasi tentang kampus kami di universitas – universitas di Jepang sana. Dan teman saya ini pun membenarkan informasi yang saya sebutkan tadi.

Satu kegelisahan lain yang saya temui (*halah.. sok pemikir…), banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang tidak berkompeten dengan pendidikannya. Paling banyak sih kasus di bidang IT, karena mudah kelihatan. Banyak teman – teman saya yang kuliah di bidang IT, tetapi hampir sama sekali tidak tahu tentang pemrograman, boro – boro mau bertanya tentang istilah CRUD, MVC, ActiveRecord, ORM, Framework, dst.. Dan jujur, saya sendiri pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mereka.

Tetapi saya juga tidak bisa menyalahkan mereka (dan saya). Karena kebanyakan mahasiswa yang saya temui memang tidak benar – benar tahu jurusan yang dipilihnya ketika masuk perguruan tinggi (termasuk saya). Kebanyakan alasannya sederhana :

“Karena jurusan ini prospek, nanti gampang buat cari kerja.”

atau jawaban seperti ini :

“Jurusan ini keren bos.., di masa depan bidang ini menjadi bidang yang sangat berkembang pesat.”

Tidak berhenti disitu, ini masih dibuai dengan *rayuan – rayuan gombal semacam ini :

“Kamu tahu enggak sekarang lulusan dari jurusan ini sudah kerja di perusahaan A, perusahaan B. Gajinya gede – gede om.. Di perusahaan X gajinya 20jt perbulan sekarang. Baru training aja dulu 5jt perbulan.”

dan jawaban lain yang cukup umum adalah karena jurusan itu “kelihatannya” menarik bagi mereka. Saya termasuk yang memilih alasan ini untuk memilih jurusan di perguruan tinggi.

Di Jepang

Ini masih “katanya” lagi. Ada kebiasaan siswa akhir tahun SMA berkunjung ke kampus – kampus yang ingin mereka tuju untuk melihat secara langsung seperti apa kondisinya. Dengan begitu mereka tidak akan dibuai dengan imajinasi mereka sendiri tentang jurusan yang akan mereka pilih. Ya.., di Indonesia sepertinya hal ini sulit diterapkan. Kondisi ekonomi dan kondisi geografis serta tersentralisasinya kampus – kampus yang *menurut beberapa perusahaan besar high qualified* di pulau Jawa, menjadi faktor penghambat yang sulit diabaikan.

Lalu apakah saya harus menyalahkan pemerintah?

Ahh.. sudahlah, gak usah bermain kucing – kucingan, mencari siapa yang salah. Sekarang pertanyaannya apa yang sudah atau akan saya perbuat untuk memperbaiki hal ini? Selama saya masih sesekali (atau seringkali) titip absen, tidak belajar, mengerjakan tugas kuliah seadanya, datang telat, dsb.. sepertinya tidak akan memperbaiki hal tersebut.

Jadi bagi pembaca yang budiman.., mulailah dari diri.. saya!

13 Comments

Add yours

  1. setuju yg dibilang temenmu itu to. sebenernya sistem kita yang di tingkat sekolah menengah maupun kuliah “main hajar” dengan berbagai macam subjek yg dijejalkan itu adalah hal yang positif, dengan catatan korban (baca : mahasiswa) otaknya mampu menyerap SEMUA subjek, yg sebenernya gak semuanya perlu.

    saya beberapa kali tanya2 ama temen saya yang kuliah sarjananya di negeri kumpeni sini, dia bilang subjek yang dia ambil itu spesifik dan ditelaah dengan dalamnya. jadi gak semua hal dijejalkan, makanya dia ahli sekali di bidang yang ditanganinya itu. untuk beberapa kasus hal ini bs jadi bumerang, dimana mahasiswa akan menjadi tidak familiar dengan subjek lain, bahkan untuk jurusan yang sama. katakanlah untuk bidang saya yang teknik kimia, mereka yang hanya belajar katalisis akan sangat ahli di bidang itu, sedangkan mungkin di bidang biokimia tak begitu ahli, padahal untuk beberapa hal kedua ilmu tersebut akan sama-sama diperlukan.

    yah, semua hal pasti ada positif dan negatifnya, sekarang tinggal kita memanfaatkan sisi positif yang telah disediakan. meskipun rada skeptis juga sih. hehe.

    eniwe, tetep semangat ya to!!

  2. Akhirnya sadar juga kau, Ban? :mrgreen:

  3. sering denger juga sih.. tapi aku belum pernah ke luar negeri sih.. he..he..

  4. @chriz : Wahh, berarti berat juga dong persainganmu dengan temen – temen di Belanda? Ya..ya, selamat berjuang deh…

    @Yahya : he…he

    @infra : sama.

  5. @Romi : Saya sudah baca tulisan dan komentar – komentarnya Mas. Mungkin Mas Romi bisa menjawab pertanyaan saya di komentar tulisan tersebut?

  6. Saya milih masuk Ilmu Komputer murni karena tertarik sama komputer… Meski saya harus pontang-panting setengah hidup untuk bisa survive.. Huehehehe…

    Saya juga merasa miris dengan kurikulum di sini yang sering gonta-ganti…

  7. sebenarnya kalau kita runtut kesalahannya bukan pada sistem pendidikan Indonesia yang amburadul sih… tetapi juga mengenai individu individu sendiri yang menyebabkan sistem pendidikan yang gak terlalu bagus malah jadi tambah rusak saja….

    bayangin aja coba… kita terbiasa dengan mencontek diwaktu ujian… dan dosen terus menegur atau terkadang memberikan nilai E… padahal… coba kalau dosen tersebut berpandangan lain… mengapa sih mahasiswa tersebut kok mencontek…. apakah ada yang salah dengan cara mengajar kita yang mungkin membuat bosen mereka… atau terlalu banyak tugas yang saya bebankan pada mahasiswa saya… jangan jangan saya menerangkan pelajaran terlalu cepat dan gak jelas…

    kalau hal itu terpecahkan… sekarang gantian pada pihak mahasiswanya…. mereka terkadang menggampangkan dan menghalalkan segala cara… gak pake belajar yang penting ujian dapat nilai A.. atau tugas tinggal contek milik “sahabat” saja.. kan enak gak usah mikir…. mereka mintanya yang praktis dan cepat serta spontan ada… nih karena kita sering dijejali dengan produk produk berupa makanan yang cepat saji ataupun internet yang menyediakan berbagai keperluan yang ada sehingga kita seakan akan terbuai dengan semuanya

    kita melupakan apa itu kerja keras dan apa itu semangat….

  8. @chriz : kayaknya yang namanya spesialis itu malah punya nilai jual tinggi deh. contohnya nih, buat ngebangun sebuah rumah aja dibutuhkan beberapa spesialis. Tukang batu, tukang kayu, tukang cat, operator alat-alat berat, tukang finishing, sampai tukang ngebersihin rumahnya dilakukan oleh orang yang sama sekali berbeda. Gak kayak di Indonesia yang memang hobi buat “rangkap jabatan”…
    Mereka dibayar mahal untuk itu karena pekerjaan mereka memang mendekati perfect. Dan untuk kasus ini tukang batu sama sekali gak ngerti tentang gimana mengergaji kayu yang baik dan sebaliknya si tukang kayu gak ngerti gimana caranya masangin batu bata…
    ~saya sendiri bukan spesialis hiks..hiks..~

    @Alfaroby : eh, ada pak Haji…

    @okto : nunut komen boz…

  9. 4 chriz: disana kamu spesialisasinya apa?tapi jangan bagian keluar malam,kasihan anak kecil gak boleh keluar…

    tapi kalo dibilang spesialisasi kayaknya belum bisa dijalankan disini,karena kebanyakan kita juga kerja kebanyakan gak sesuai dengan bidang ato ilmu yang kita dalami dikuliah,misalnya seorang engineer yang seharusnya tahu mengenai hal-hal teknik tapi ketika dia bekerja dia ternyata jadi sales barang,kalo barang teknik masih bisa dimaklumi tapi kalo barang yang lain. dan itu tuntutan…

  10. @alfaroby : Karena itu aku pegang prinsip gak pernah mencontek waktu ujian.. Dan itu yg bikin aku tetap PD dengan nilai D ku, daripada dapet B tapi dengan banyak “aksi” waktu ujian. Eh iya, kamu masuk yang mana?

    @prabuwardhana : tentunya. Tetapi punya ilmu setengah2 dimana – mana juga adalah spesialis kan?

    @annes : nah.. itulah realita Nes.. *sedang mengalami yah? 😀

  11. kurikulum SD aja bikin serem. Bener loh. Banyak pelajaran SD skrg yg gw gak ngerti. Terlalu ruwet.

  12. Kurikulum di endonesa dari SD sampai perguruan tinggi sudah diajarkan untuk jadi supermen.
    Di dunia kerja pun kualifikasi SDM nya juga cari yang kayak supermen.
    Sayangnya yang bikin film Supermen itu kok malah amerika, bukan endonesa 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *