Linuxer yang Kecewa

Mereka yang *terjerumus* ke dunia Linux punya alasan yang berbeda – beda. Ada yang karena tertarik saja, terpaksa (seperti saya), ingin terlihat cool (jendela hitam itu keren po??), penasaran, cuma pengen coba – coba, dan masih ada banyak alasan tak masuk akal lainnya.

Sebagian dari mereka ini akhirnya menjadi pengguna Linux yang militan. Begitu semangat mempromosikan Linux. Bahkan dengan begitu semangatnya membuat flyer tentang bodohnya *kita* selama ini memakai software bajakan, apa akibatnya, penegasan ancaman penjara dari UU Haki, sampai masalah masuk neraka. Silahkan tertawa, tapi saya pribadi pernah melakukannya sendirian di kampus waktu di semester 2.

Ketika sudah jadi Linuxer-militan ini, seringkali fanatisme akan Linux menjadi begitu *parah*. Mereka yang menggunakan software bajakan dianggap sebagai manusia paling berdosa, pelanggar UU, bodoh, dst. Oh iya, dan biasanya jadi anti-Microsoft.

Tak lupa para pahlawan dunia opensource pun menjadi idola mereka, seperti Linus Torvalds, Richard Stallman, dll. Di tingkat lokal (Indonesia) pun Linuxer-militan ini punya idola juga, seperti …, …, …, *tak usah disebutlah.. nanti pada ge er (ha..ha..). Ya anda tahulah siapa – siapa mereka.

Tapi dunia bagaikan runtuh, ketika Linuxer-militan ini mengetahui, para pahlawan opensource lokal mereka juga *bersentuhan* dengan dunia *propetiari*.. mmm.. ya maksud saya memang Windows.

Dari beberapa sumber (kadang blog si idola tersebut, atau web perusahaannya, milis, seminar, mulut ke mulut) diketahui bahwa para idola mereka ini ternyata sehari – hari justru menggunakan software propetiary. Ada pembuat distro Linux lokal yang tidak menggunakan distro buatannya itu, dan kemudian menjalin kontrak dengan Microsoft untuk bidang akademik. Ada juga yang gencar mempromosikan Linux & open source, tetapi perusahaannya berkutat dengan training seputar Microsoft dan software – softwarenya.

Di tingkat lebih kecil, ada anggota komunitas Linux yang justru malah akhirnya *berpindah jalur* ke jalan tol berlogo Jendela. Ada juga anggota komunitas yang begitu lihainya berdebat mengenai migrasi ke Linux, tetapi ternyata di kosnya dia menggunakan Windows untuk kegiatan sehari – harinya.

Masih belum cukup. Fakta lain yang terungkap adalah perusahaan – perusahaan lokal yang terkenal sebagai penyedia support Linux, juga menyediakan produk & servis untuk software yang hanya jalan di Windows.

Sampai disini, ada saja Linuxer yang kecewa. DULU saya juga termasuk salah satunya. Apalagi waktu itu saya masih begitu fanatiknya.

Lalu? Ya lambat laun sudut pandang saya yang berubah. Saya tidak menjadi sengit. Dulu saya kecewa karena salah saya sendiri memegang konsep yang keliru. Beruntung saya bisa sadar kesalahan saya. Sekarang kata kunci yang saya pegang adalah, yang terbaik itu memang “menggunakan software legal”. Terserah OS nya apa. Tetapi lebih baik lagi kalau itu memberi *efek baik* jangka panjang. πŸ˜‰

Tapi, saya sekarang bertanya – tanya, selama transisi pergantian sudut pandang saya ini, adakah Linuxer lain yang (masih, atau baru saja) dikecewakan (seperti halnya saya dulu)?

NOTE: Don’t get me wrong.. Tulisan ini hanya merepresentasikan bahwa di luar sana ada para Linuxer yang sejak awal menggunakan pondasi konsep yang tidak seharusnya. Saya sendiri butuh waktu lama untuk menyadari kekeliruan saya.

Terkait : Linux dan Sebuah Kebohongan

71 Comments

Add yours

  1. hehehe… pada akhirnya perut akan bicara kan ok. dan aku setuju pada prinsipnya memang ‘be legal’ jadi prioritas utama. selama legal ya sah-sah aja kok.

    kalo masalah seleb2 IT di indonesia yang pake perangkat proprietary… itu sih wajar-wajar aja. malah ada yang jadi iklan-nya microsoft dengan foto close up yang besar :).

  2. Kalo saya separuh militan, cuman gak hidup mati pake Linux.
    Tools yang tepat untuk kerjaan yang tepat lah,
    dan sebisa mungkin legal πŸ™‚

    Udah lama ngingetin temen2 yang lain jangan terlalu militan, karna gak semua bisa selesai dengan Linux. Tapi beberapa orang tetep aja ngeyel.

    Sekarang, kalo ada yang perlu solusi saya sarankan Linux dulu,
    kalo mereka ngeluh masalah belajar lagi ya saya sarankan Windows aja tapi legal.
    Kalo ada yang ngeluh masalah virus biasanya saya sarankan pake Linux aja, apalagi kalo kerjaannya sekedar ngetik dokumen + spritsit + email + browsing. Seperti kata orang, nanggulangi virus di windows sama susahnya dengan menambal kapal bocor di lautan.

    Eniwe, gak usah fanatik banget lah sama Linux, gunakan tools yang tepat untuk tiap kerjaan:
    Mau jalanin aplikasi server dan jaringan? ya pake Linux
    Perlu server yang lebih aman lagi by default? ya pake OpenBSD
    Perlu GUI yang nyaman untuk desktop? ya pake Mac

  3. hahahaha
    Sesuatu yang berlebih itu memang tidak baik.

  4. Yah, itu mungkin karena mereka melakukan setengah hati. Motivasinya mungkin bukan sungguh-sungguh atau mereka sedang jatuh ke dalam pencobaan. πŸ˜›

    Tapi, tenang aja, masih banyak yang pake GNU/Linux dengan setia hanya saja mereka low-profile. Hahaha.. pengen sebutin contoh, tapi takut narsis. Anda masih pake, ‘khan? Terdaftar ke planet Ubuntu-ID ud jadi seleb, loh… πŸ˜›

    Yang pasti, dunia di luar sana (kecuali Indonesia), rame-rame lagi transisi ke open source. Korporasi global bahkan sedang pelan-pelan ke sana. Jadi, tinggal tunggu waktunya mereka transisi (tentu tidak 100%) tapi dominan. Indonesia? Sekali lagi, cuma tertinggal dan termangu, seperti pabrik sepatu yang tidak berinovasi lalu mati ditinggal vendornya yang pergi ke Vietnam.

    Intinya, jangan setengah-setengahlah.

  5. untunglah saya tidak seperti itu. saya pengguna Linux (untuk kebutuhan sehari2) baru, walaupun kenal Linux udah 4 tahunan. sudah berbulan2 untuk komputer pribadi tidak pernah pakai Windows kecuali di tempat umum atau komputer teman. saya cinta Linux tapi tidak benci Microsoft, saya anti bajakan tp tidak suka Richard Stallman, saya sering mengajak orang menginstall Linux di komputernya tapi masih bersenang hati menggunakan Windows, masih berharap punya mac, belajar mengenal Solaris. jadi saya termasuk apa ya pak? πŸ˜€

    kalau saya menyebut diri saya termasuk orang pendukung “software legal”, apapun itu, mau FOSS, proprietary, freeware kek, apapun asal masih legal. saya kadang suka kesel sama org yg terlalu fanatik, kyk punya dia yg paling bagus aja. ujung2nya lahir fenomena “Linux vs Windows”, ” Linux vs BSD”, “Windows vs Mac” bahkan sampai ada “Free software vs Open Source” *RMS mode* πŸ˜€ cape deeeee……

  6. Orang yang berharap biasanya kecewa πŸ™‚

  7. Judulnya bombastis. Semoga tidak ada orang-orang ring-0 dan ring-1 yang ngebom blognya Okto. Hahahaha.

    @dudi
    Iya, pada akhirnya dunia bisnis hanya peduli yang legal. Dan kalau bisa yang murah πŸ˜€

    @Vavai
    Yang berharap dan harapannya tidak tercapai, baru kecewa. tapi kalo harapannya tercapai ya beda lagi. Hehehe, Jgn bilang gitu mas. Mari kita semangati Okto untuk tetap berharap. Without hope, hidup bukan hidup lagi namanya πŸ˜€

    Ayo Okto, ini belum saatnya menyerah! *ngomong apa sih ini*

  8. Jadi militan memang memiliki resiko tinggi untuk kecewa.

    Kalo saya, pake WinXP legal, software lainnya juga pake yang legal. Kalo gak kuat beli yang M$ punya, ya cari padanan freewarenya.
    Kecuali kalo kepepet (lho?) πŸ˜€

  9. Untung saya tidak terlalu militan πŸ˜›
    Sudah hampir 10 thn pake Linux (dulu pernah utk kegiatan server, skrg lbh banyak utk desktop sehari-hari), pernah ikut training ini-itu, bahkan pernah ngajar kursus jg :), tapi buat saya sih Linux itu adalah pilihan, dari sekian pilihan yg ada. Kadang2 jg kita tdk bisa memilih — tempat kerja saya jg masih pake full MS legal utk desktop. Tapi yang penting apapun yg dipilih, harus yg bertanggung jawab (legal, tepat guna), dan bermanfaat. Bener ga? πŸ˜‰

  10. hahaha….membaca tulisan ini kok ngena banget di saya yah?
    saat ini mind set saya juga sudah berubah ke ‘solusi’. jika itu baik (bisa legal, cost reachable, dsb) dan bisa membantu saya mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhan saya, yah akan saya gunakan. Gak peduli mo Linux kek, Windows kek, Mac kek, Solaris kek, dan kek-kek yg lain πŸ˜€

  11. Pakai Linux atau Pakai Windows (diutamakan yang legal) sebenarnya tergantung kebutuhan dan kondisi keuangan / anggaran. Kalau bisa sih untuk bisnis ya jangan pakai Windows maupun software-2nya yang bajakan alias tidak legal, ibaratnya mencuri untuk modal usaha.

  12. mas Okto, mengingatkan saya pada jaman kuliah juga. saya juga dulunya pengguna linux militan, tapi baru sadar kalo pandangan saya salah ketika sudah bekerja. yg dibilang mas Okto memang benar. yg terpenting adalah penggunaan s/w legal. nggak peduli itu windows atau linux yg penting dapat berfungsi ketika kita membutuhkannya. sayapun kerja sehari2 juga menggunakan MS windows yg legal, di rumah menggunakan dual boot.

    saya setuju sama mas suari, menggunakan linux adalah pilihan, menggunakan windowspun juga pilihan. semuanya tergantung kebutuhan dan kondisi masing2. tapi ya balik lagi ke topik yg tadi, sesuatu yg berlebih memang tidak baik hehe..

  13. HAlo bang… bukan soal LINUX tapi mau tukeran link,,, Add Bang yang punya abang udah ku add. GBU

  14. Dan sepertinya yg banyak kecewa ini kebanyakan datang dari golongan mahasiswa, yg masih hijau dengan idealismenya yg masih menggebu2………..

  15. Pahlawan lokal ini, inisialnya siapa yah? RMS46? IMW? BR? πŸ˜›
    Dulu tahun 2006 (eh atau 2004 yah?), salah satu juragan kambing (masih mahasiswa saat itu — orangnya sempat komentar di atas tuh) nantang calon ketua BEM UI di Fasilkom UI, “gak usah Linux deh.. yang penting, tuh komputer di BEM, legal sistem operasinya. Windows juga boleh”.

    Jadi kalau di Fasilkom UI, kayaknya gak sampai sebegitu fanatiknya πŸ˜›

  16. saya awam dalam soal ginian. ketika persoalannya sejak awal memang ideologis, duh memang bisa makan hati ya. tapi bagaimana baiknya, saya juga ndak tahu.

  17. yup.. aku full pake linux. dan saya ndak membenci MS. yg membuat saya kecewa, ada beberapa vendor yang belum punya versi aplikasinya di linux..

  18. ada juga kok M$ militan yg arogan memakai emosi waktu interview saya di salah satu perusahaan It consultan , dia bilang ” linux ga bakal buat kamu kaya”, dengan memamerkan piagam penghargaan dari M$kocok. dan dia sendiri kewalahan soal menangani virus local yg menghancurkan software license di clientnya.
    so buat apa seh kecewa. mas belajarnya tangung2 kalee.
    jangan2 Okto kecewa di tinggal kawin sama pacarnya ya.duku

  19. anak buah roy suryo ya, wkwkwkwkwkwkwkwk

  20. Numpang komen sekali lagi.

    Ini komentar saya tentang perlunya militansi terhadap opensource:
    http://jpmrblood.blogspot.com/2005/10/answering-josef.html

    Bukan karena kita bego atau naif, tapi karena resistensi terhadap opensource begitu tinggi maka perlu militansi yang tinggi untuk melawan resistensi tersebut. Tentunya, militansi tanpa tujuan adalah suatu hal yang byar-pet, tapi seperti apa yang saya nyatakan seperti di blog itu, VISI dari penggunaan open source di Indonesia adalah MENINGKATKAN DAYA SAING INDONESIA.

    Sulit? Tentunya.
    Butuh waktu? Pastinya.
    Gak mungkin? Tentu tidak.

    Resistensi terhadap opensource sekarang tidak seperti dulu, walau memang Indonesia tidak seprogresif EU, Brazil, dll dalam penggunaannya. Tapi, kalau mahasiswa2 sekarang tetap berpegang pada idealisme, pastilah perusahaan2 pada bergeming. Pertama, tuntutan global yang memang mengarah kepada openness. Kedua, karena mahasiswa2 ICT yang *kompeten* pengguna opensource.

    Here’s a clue: (well, several clues)

    Kebanyakan institusi pendidikan tinggi menghasilkan tenaga ICT siap kerja bukan siap membangun. Opensource bukan hanya menghasilkan biaya rendah tetapi membangun sikap *ulet* dan kreatif untuk tidak menyerah pada keadaan. Siapa yang menggunakan GNU/Linux begitu lama dan tidak tertarik untuk oprek2? Oprek2 adalah sifat dari riset, riset adalah bagian dari investasi *jangka* *panjang*.

  21. kalo saya sih cuma bilang: Dapatkan yang terbaik dari segala hal yang bisa di eksplorasi. GNU-GPL, Open Source, Proprietary adalah warna warni kehidupan. Saya tiap hari menggunakan Linux dan kawan kawan tapi saya tidak merasa perlu menjadi seorang militan, saya tetap menggali pengetahuan baik itu Open Source maupun proprietary πŸ˜‰

  22. Okto, sampeyan ora perlu kecewa. Kalo iso dipake, yo dipake. Kalo ra iso, yo pake jendelo wae. Pake Mac yo ra popo, la sexy toh…. πŸ™‚

    HUAHAHA ….

    Linux perlu satu manajemen komunitas yang benar semacam Firefox, sehingga bisa menciptakan produk yang terarah dan tidak membut distro sendiri2.

  23. kecewa di tinggal kawin pacar mas. komen kok milih2 yg baik2 buat situ di pasang. keliatan bego nya lu okto. okto di rubah nama jadi otdo = otak dongo.

  24. jangan salah ada juga M$ militan, pengalaman saya waktu di interview di perusahaan It consultan dengan bangga dia bilang “buat apa linux ga akan buat kamu kaya”, dengan piagam M$ di meja berjejer.
    menurut gw open source, linux ada kebebasan dari belenggu. bukannya lu harus ke makan arus gelobalisasi dan di jajah kapitalis.
    gw pake ubuntu 8.10 buat maju band gw lewat aplikasi yg ada. gw juga bisa ngasih makan ke anak terlantar dari kreasi gw di ubuntu. dan sekarang gw mampu ngajarin anak jalanan buat belajar linux gratis (ga malu sama anak jalanan) . itu yg penting bukannya bangga sama lu punya license tapi lu harus bangga kalo udah berbuat baik demi orang banyak.
    UBUNTU = kemanusian , inget semboyan itu.
    belajar jangan setengah2. mahasiswa tempe . mahasiswa kok kalah sama anak punk seh

  25. Saya pake linux karena gak banyak virusnya. Bosen juga paranoid tiap nancepin USB. Mungkin ini menyebabkan saya agak resist dengan Windows. Gimana gak, lha tiap ditanya org ‘mas virus ini obatnya apa?’ atau ‘antivirus yang sip apa?’, saya jadi bingung @_@. Timbang dikira anak TI kok telmi ya sekalian aja saya anti windows :D.
    Klo Mac, wow jelas mau πŸ˜€

  26. Saya lebih suka dengan pahlawan2 yg 100% Open Source dan Free (Freedom bukan gratis) πŸ™‚ . Ada kok, tapi bukan di Indo πŸ™‚ .

  27. Saya rasa juga seperti itu Om

  28. Kalau saya sudah tidak pakai Linux, tidak mungkin saya menuliskan postingan ini πŸ˜‰

  29. Mungkin bukan berharap Mas, cuma berasumsi yang kelewat pede.. πŸ˜€

  30. Ganbatte..! *kok makin gak nyambung.. LOL

  31. He..he.. Ya, hukum kalo kepepet itu dalam semua lini kehidupan seringkali “dilegalkan” kok.
    mmmm.. termasuk Kunang kah? *kidding.. πŸ˜€

  32. setuju kang

  33. berganti mind setnya setelah ke Belanda kah Mas? πŸ˜€

  34. Pengalaman juga? πŸ˜‰

  35. Iya, justru yang sangat fanatik itu seringkali berasal dari lingkungan bukan orang – orang IT.

  36. Tapi paman tetep pake yang legal kan? πŸ˜€

  37. Nah itu dia satu masalah. Vendor belum pada support. Mungkin ada kontrak – kontrak tertentu dengan pihak OS lain ya.

  38. Saya setuju dengan militansi software, selama di jalur yang benar. Bukan militansi yang membabi buta tanpa mau berpikir terbuka.

    Dengan adanya opensource, kalau disikapi dengan benar, saya yakin akan membuat daya saing negara kita semakin bagus.

  39. Firefox itu mirip dengan Yayasan.. *ya cen yayasan toh? Firefox Foundation

    Lek linux iku podho ambek Komunitas *yo pancen komunitas juga.. He..he.

    Firefox yo isih nduwe *distro* toh : IceWeasel, Flock, dll.

  40. Masalahnya bukan karena kontrak ekslusif, tapi karena gak ada yang mbayari.
    Pengembangan di atas linux, windows, atau apapun pasti membutuhkan resource (orang, waktu, uang) khusus. Kalau tidak ada customer yang meminta (dan membayari) untuk mengembangkan aplikasi spesifik di atas linux, ya vendor akan memilih platform yang paling cost-effective, apapun itu.

  41. Saya termasuk yang kecewa, tp saya baru sadar bahwa OS yg mereka pakai itu memang legal. Slogan yang menurut saya baik adalah, yaitu, “Gunakan OS yang Legal, Gunakan GPL/Opensource”.
    –budiw

  42. Alasan saya pake linux: Karena asik buat dioprek, dan gratisan. Tapi, sayangnya masih ada program di Windows yang gak ada padanannya di Linux, serta masalah driver hardware.
    Alasan saya ndak pake Windows: Udah terhitung mahal, rentan virus pula. Walau saya dapet copy aslinya (legal) dari pihak kampus, ujung2nya dual boot juga. Dan akhirnya malah Kubuntu only. Hehehe…
    Alasan saya ndak pake Mac: karena belom punya. Hehehe… Pengen punya, suatu saat nanti.

  43. Ya, kan ada tiga golongan yaitu : Microsoft minded, Linux minded, dan yang terakhir ini golongan “market” minded…….

  44. mas okto,
    ntah saya dl pernah jd militan ato ngga πŸ˜€
    tp yg pasti dl saya sempat merasa bahwa distro yg saya pake saat itu adalah distro terbaik buat saya pribadi
    padahal distro yg dipake berubah-ubah
    tiap ganti distro baru, rasanya itulah yg terbaik
    walau rasanya saya tdk pernah memaksa org lain utk spt saya

    di komunitas akhirnya memang ada aliran garis keras
    menjelek2kan distro hingga os lain, bahkan sesama open source
    tp kebanyakan yg militan biasanya krn blm merasakan kekurangan distro yg dipakenya
    atau tutup mata akan itu πŸ™‚

    sbg pemula sampai saat ini pun, saya masi bingung jika ada yg membela mati distro yg dipake, tp tetep menjelek2an distro/os lain bahkan yg blm pernah dicobanya

    kl bole sih, saya pengen make semua os dan distro,
    tp tetep memasyarakatkan open source dan os legal
    jd ngga masalah os apa yg dipakenya

    saya memaklumi beliau2 yg promosi open source, tp masi make propietary (berharap legal)
    krn tuntutan lingkungan kerja

    minimal yg militan itu memang bs bantu2 saya make linux selama ini πŸ˜€

  45. bah.. rame betul amang… huehehehe… Aku sudah coba pindah ke Linux tapi ngga bisa-bisa euy.. Ngga ada Adobe aku gigit jari soalnya hahaha..

  46. Terbuka? Emang FOSS itu terbuka. πŸ˜›

    Untuk lepas dari narkoba dibutuhkan niat yang benar-benar kuat dan keras. (ex-junkies pasti tau maksud saya dengan kuat dan keras)

    Untuk lepas dari ketergantungan proprietary s/w, butuh niatan yang bener-bener keras. Nah, kalo pikiran terbuka yang dimaksud adalah baru mentok dikit ud nyerah total dan melepaskan idealisme, maka saya katakan tujuan memperjuangkan FOSS bagi saya adalah sia2. FOSS adalah sarana untuk membuang mental instan tersebut dan bisa menumbuhkan sikap riset.

    Jadi, jangan menyerah dengan FOSS, teruslah. Kalo mulai mentok dengan proprietary, cari padanannya dan mulai *gunakan* s/w FOSS itu sendiri. Lalu, ajak sekeliling buat nyoba. Emang terkadang proprietary harus dipake kalo gak ada padanannya, tapi bukan berarti tidak ada, mungkin saja kita belum ketemu. Ya, coba terus cari.

    Gimana? Masih pengen jadi militan FOSS terus?

    Mudah-mudahan masih.

  47. kalo saya sendiri sih udah jarang pake linux di desktop, abisnya ngga punya desktop jadinya lebih banyak pake di server πŸ˜€

    walopun begitu filosofi GPL atau open source itu yang perlu tetap dilestarikan… πŸ˜€

    *itu gw ngomong apaan sih*

  48. Kan ada The Gimp amang πŸ™‚ .. *ya walaupun lumayan memakan waktu buat belajar teknik2 di GIMP

  49. Ha..ha.. Beberapa orang yang komentar disini salah tangkap. Saya masih *dan mudah2an akan terus* pro Linux & Open Source. Kalau tidak tentu saya tidak akan bertahan di KPLI Jogja sampai 5 tahun ini..

    Yang mau saya tegaskan, OS apapun yang kita pilih, kita tetap harus berpikiran terbuka. Legal itu tentu lebih baik daripada ilegal, tapi *menurut saya* lebih baik lagi kalau legal dan opensource πŸ˜‰

  50. Sambil senyam senyum saya membaca artikel ini. Sungguh. Ini benar-benar yang saya rasakan saat ini. Tapi dari arah yang berlawanan dengan Okto. Dulu sekali, setelah saya lulus sekolah, di rumah, belum bekerja. Saya instal redhat 6.xx saya lupa versinya.

    Dari sana saya belajar pyhton. Salah satu bahasa pemrograman yang hebat, menurut saya πŸ˜€ Sampai saya ikut terlibat dalam proyek translate ke dalam bahasa Indonesia yang dipimpin Steven Haryanto. Entah lah, sampai sekarang saya tidak tahu kabarnya, sampai tiba-tiba ada buku di Gramedia yang isinya sama persis dengan yang saya lakukan dan teman-teman di tim translate.

    Saya dipanggil interview oleh perusahaan yang saya akhirnya bekerja disana hingga 6 tahun dengan hasil dari translate pyhton. Ya, hasil dari translate tersebut saya simpan di komputer dan saya otak-atik sendiri contoh-contoh scriptnya. Tapi apa mau dikata, tempat kerja saya hanya mau menerima ‘jendela’ sebagai platformnya. Its ok, karena mereka membeli secara legal. Tahun demi tahun bekerja di lingkungan jendela, tidak membuat hati saya luntur untuk selalu mencumbui penguin. Saya juga bingung, hati ini seolah menemukan tambatannya disana. Banyak sekali hal yang membuat saya tertarik untuk login, setiap hari.

    Di tempat yang baru sekarang, saya baru berumur 2 tahun. Belum banyak hal yang bisa saya andalkan selain hasil pengalaman saya bekerja di platform jendela. Tapi sekali lagi, cinta saya ke penguin tidak luntur. Damn ! Saya sekali lagi bingung dengan hati ini. Tapi apa mau dikata…hati tidak bisa dibohongi….Akhirnya, saya putuskan untuk menuruti hati ini mencoba lagi untuk login ke penguin. Sekarang cinta saya tertambat ke keluarga BSD. Hmmm masih satu varian kan…setidaknya… πŸ˜€

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *