[Ilustrasi: Mark Hunter – tartanpodcast | Flickr.com]

Kalau dulu kan platform media digital (online) itu bisa dibilang cuma satu, desktop.Walaupun cuma satu, tapi secara teknis PR nya cukup besar, karena di masa-masa itu kompatibilitas antar browser masih sangat jauh berbeda. Ya, dosa terbesarnya memang karena waktu itu IE 6 masih mayoritas sih. Pokoknya di masa-masa itu, sebelum website dipublikasikan, harus memastikan dulu tampilannya konsisten di semua browser. Ribet lah. (sekarang sih masih, tapi sudah mendingan).

Lalu belakangan platform yang mayoritas menjadi dua: desktop (website) dan mobile (aplikasi mobile/mobile site). Jadi para pemilik konten melakukan optimalisasi agar kontennya bisa disajikan dengan mudah di kedua platform tersebut. Harus sigap mengatur strategi bagaimana agar delivery konten di masing-masing platform jadi optimal. Memutuskan apakah membuat mobile-apps atau cukup mobile-site saja? Atau justru cukup website yang sudah responsif?

Nah makin ke belakang ini, kira-kira setahun terakhir, menurut saya sudah muncul lagi platform ketiga. Sebenarnya bukan benar-benar medium baru. Tetapi, medium ini berjalan di atas platform yang sudah ada tadi. Misalnya: Twitter, BBM, Snapchat, Facebook. Bisa dibilang sub-platform juga kali ya.

Sekarang selain memastikan agar delivery kontennya di desktop dan mobile (apps atau mobile-site) berjalan dengan baik, pemilik konten harus mengatur strategi juga bagaimana menampilkan kontennya di “platform ketiga” ini.

Facebook.

Kalau dulu pemilik konten sibuk dengan SEO agar kontennya sebisa mungkin berada di urutaan teratas hasil pencarian, sekarang harus berpikir bagaimana agar judul kontennya membuat orang ingin membuka link konten tersebut. “Buzzfeed Style”, kalau istilah saya. Dari sisi teknis, para developer menambahkan tag-tag OpenGraph di dalam header HTML masing-masing website agar cukilan (preview)-nya nanti menjadi menarik di Facebook.

Belakangan Facebook membuat platformnya bisa menampilkan konten secara penuh. Jadi pengkonsumsi media di dalam Facebook, bahkan tidak perlu lagi klik link dan mengunjungi website asli sumber konten tersebut. Pemilik konten harus mempersiapkan bagaimana agar konten ini disajikan dengan optimal di dalam Facebook.

Twitter

Selain pintar-pintar mengoptimalkan batas 140 karakter Twitter untuk mempromosikan link ke konten yang dimiliki, para developer pun melakukan hal yang mirip dengan OpenGraph. Header HTML kini ditambahkan Twitter Card agar preview konten menjadi “lebih hidup”, karena cukilan yang muncul pun menjadi lebih besar.

Menilik strategi Facebook, bukan tidak mungkin kalau akhirnya Twitter pun bakal melakukan hal yang sama. Para pemilik konten akhirnya bisa menampilkan konten mereka secara utuh langsung di dalam Twitter, tanpa perlu mengunjungi website aslinya.

BBM, Line, Snapchat, dll

Seperti kita ketahui, ketiga aplikasi di atas adalah aplikasi chatting. Tetapi belakangan juga jadi kanal distribusi konten. Di BBM saya lihat kita bisa “add” kanal brand tertentu, lalu nanti kita dapat update. Dari yang saya baca, Line pun punya fitur semacam ini. Snapchat pun dari informasi yang saya baca memiliki fitur yang sama.

Selain itu, khusus untuk konten video, masih ada lagi YouTube dan Vimeo. Dan bukan tidak mungkin jika nanti social media yang sudah ada sekarang berubah menjadi platform medium distribusi konten secara penuh.

Jadi, pemilik konten, jika mau eksis di jaman sekarang, harus benar-benar rapi mengatur strateginya. Selain (masih) dipusingkan urusan website, mobile-site / mobile application (iOS, Android, Windows Phone), masih lagi dipusingkan optimasi konten di atas “platform ketiga” tadi, yang bisa dibilang juga sub-platform: Facebook, Twitter, BBM, Line, Snapchat, dll.