Author: Okto Silaban

6 Pelajaran dari Transfer Domain Antar Registrar

[Foto: pgs| flickr.com]

Baru-baru ini saya mentransfer domain saya ke registrar lain. Diperpanjang di sana untuk 10 tahun, lalu saya transfer balik ke registrar saya.

*Ngapain sih domainnya ditranfer ke registrar lain cuma untuk perpanjang 10 tahun?

Karena di registrar itu ada voucher yang gak kepakai.

Tetapi setelah berhasil diperpanjang 10 tahun, ternyata domain itu tidak bisa ditransfer balik begitu saja. Saya baru tahu kalau dalam transfer domain antar registrar itu ada yang namanya “Initial 60 Days“. Jadi sebuah domain tidak bisa ditransfer jika baru diregister atau diperpanjang dalam 60 hari terakhir.

Oh iya, ini beberapa hal yang perlu diketahui untuk transfer domain antar registrar:

  1. Whois Privacy (Protected Whois) harus dimatikan.
  2. Pastikan alamat kontak email di Whois domain tersebut masih aktif dan bisa diakses. Karena konfirmasi akan dilakukan ke alamat email tersebut.
  3. Unlock domain tersebut (biasanya secara default domain itu di-lock agar tidak bisa ditransfer).
  4. Pastikan anda tahu Auth Code / EPP Key domain tersebut. Kode ini akan diminta di registrar yang baru.
  5. Setelah proses transfer, akan ada proses konfirmasi ke email pemilik akun sebelumnya. Ini bisa memakan waktu beberapa hari. Dalam kasus saya kemarin, butuh waktu hampir seminggu.
  6. Selama proses transfer, konfigurasi Nameserver masih menggunakan registrar lama.

Perlu diingat, tentu saja akan tetap ada resiko transfernya gagal.

 

Habis Reset Android atau Ganti Ponsel Baru, Begini Cara Mindahin WhatsApp-nya

[Foto: santaolalla | flickr.com]

Setelah reset Android atau ganti ke ponsel Android baru, biasanya pasti mulai install-install lagi kan? Umumnya salah aplikasi yang wajib di-instal itu WhatsApp. Tapi seringkali, habis install terus baru inget, laah.. kemana percakapan (chat) yang kemarin ya? Kok jadi kosong semua gini. Padahal kadangkala ada saja beberapa pesan penting di dalamnya yang masih kita perlukan. Entah itu pesan teks, gambar ataupun video.

Backup WhatsApp ke Google Drive? Bisa sih.. Tapi kalau isinya udah banyak (video, gambar, teks) dan udah lama, besarnya bisa ratusan MB. Lumayan kan kalau harus ngupload segitu langsung dari ponsel ke internet?

Sebenarnya masih ada cara lainnya, dan ini gak perlu lewat internet, yang penting prasyarat 3 ini ada semua:

  1. Ponselnya (iya lah ya..)
  2. Kabel data
  3. Komputer (bisa Windows, Mac, ataupun Linux)

Caranya?

Singkatnya.

  1. Backup Chat di WhatsApp, hapus file yang tidak perlu, folder WhatsApp nya di-zip, terus pindahin ke komputer.
  2. File zip dari folder WhatsApp tadi di copy balik ke ponsel baru ataupun di ponsel yang baru di-reset tadi. Ekstrak. Pastikan struktur foldernya benar (PhoneStorage – WhatsApp – file2 lainnya), bukan seperti ini : PhoneStorage – WhatsApp – WhatsApp – file2 lainnya.
  3. Install WhatsApp. Nanti file backup ini akan dikenali otomatis.
  4. Restore.
  5. Kelar deh.

Kurang detail? Nyoh, baca aja di Labana.ID.

Xiaomi Redmi Note 3 – Tidak Perlu Earphone atau Headset untuk Mendengarkan Radio FM

Beberapa alasan sederhana membuat saya pindah dari Asus Zenfone 2 ke Xiaomi Redmi Note 3. Tentunya alasan selain 7x bolak-balik ke service center Asus sih.

Belakangan saya menemukan alasan lain kenapa saya menyukai ponsel ini. Ternyata tak saya tidak perlu mencolokkan headset/earphone ke ponsel ini untuk mendengarkan radio FM. (Bukan radio internet loh ya). Bukan fitur penting sih, tapi kadangkala saya ada di situasi di mana headset, earphone ataupun colokan speaker dengan jack 3.5mm susah dijangkau. Di saat seperti ini fitur ini sangat berguna.

Saya tidak tahu kalau fitur ini ada atau tidak di ponsel lain, tetapi pengalaman saya beberapa kali menggunakan Android, baru kali ini yang nemu begini. Bahkan di masa-masa jaya Nokia, semua yang saya temui harus menggunakan headset baru bisa dengerin radio FM nya.

Cuma emang tampilannya super polos gitu sih aplikasinya. Aselik.

Pengemudi Uber Ini Ternyata Ayah dari Siti Saniyah (Kontestan The Voice Indonesia)

Hari ini Taksi BlueBird gratis 24 jam. Tapi tadi di Kuningan saya sulit sekali menemukan taksi yang kosong. Akhirnya kembali lagi naik Uber, tak sampai 5 menit sudah dijemput.

Singkat cerita. Setelah ngobrol soal heboh demo pengemudi taksi kemarin, tiba-tiba si pengemudi (namanya Pak Medi) loncat ke topik lain.

Pak Medi (PM): Suka nonton The Voice, Pak?

Saya: Nonton awal-awal doang sih, Pak. Di YouTube. Saya inget ada tuh yang nyanyi-nyanyi seru sama Agnez Mo pas audisi.

PM: Nah, anak saya lolos tuh, Pak. (Ujarnya dengan bangga)

Saya: Hah?! Serius, Pak? Siapa namanya? Read More

Tantangan Besar bagi MindTalk / Digaku

Beberapa waktu lalu Abang Edwin menulis di blognya perihal pengunduran dirinya dari jabatannya sebagai CEO Ansvia (PT yang menaungi MindTalk.com / Digaku). Saya melihatnya di Linkedin. Kami sempat sedikit “berdiskusi” juga di Linkedin soal MT ini.

*mungkin ada yang masih ingat, di tahun 2011 saya pernah mengulas MindTalk.com saat awal-awal baru diluncurkan. Secuplik sejarahnya ada di sana. Mungkin bagus juga baca dulu detailnya, lalu kembali ke sini.

Slack

Seperti saya sebutkan di review saya dulu, konsep awal MT/Digaku sebenarnya cenderung lebih mirip MIRC ketimbang Facebook Group. Tapi dengan berbagai pertimbangan, mereka akhirnya memutuskan untuk berubah menjadi social media interest-based. Kalau menurut saya sih pada dasarnya ini adalah Kaskus versi modern.  Read More

Founder Startup yang Tidak Meyakinkan

[Ilustrasi: motivatinggiraffe.com]

Saya sepaham dengan Paul Graham, dalam membangun startup itu founder punya faktor kuncian lebih signifikan dibandingkan ide startup itu sendiri.

Ini bukan soal foundernya lulusan kampus ternama dari Amerika, pernah bekerja di perusahaan konsultan manajemen kelas dunia, atau pernah bekerja di Silicon Valley. Tapi kombinasi dari semuanya. Bisa soal faktor tadi maupun soal karakter, intuisi, koneksi yang dimiliki, pengalaman, dll sampai soal latar belakang keluarga.

**

Sekitar setahun lalu seorang teman pernah mengenalkan seseorang kepada saya. Orang ini mempunyai ide startup yang menarik. Bukan ide baru sih sebenarnya, di Singapore, China dan Australia bisnis ini terbukti sukses, hanya saja di Indonesia belum ada yang memulai. Saya bahkan tidak ada tahu ada bisnis seperti ini. (Maaf, tidak bisa saya sebutkan apa nama startup dan detail bisnisnya.)

Saya sebenarnya tidak ada urusan dengan startup ini. Diskusi ini adalah antara si founder dan teman saya tadi. Mereka sedang menjajaki kemungkinan kerjasama. Saya ikut diskusi hanya untuk brainstorming, second opinion dan men-challenge ide-ide yang ada.

Keraguan

Singkatnya, setelah meeting itu selesai, saya mengatakan kepada teman saya, “Jujur aja bro, gue sih gak yakin bakal jalan startupnya. Bukan soal ide-nya sih, tapi momennya terlalu cepat untuk di Indonesia. Selain itu dia gak punya background technical dan gak punya orang technical, sementara startupnya sangat related sama technical. Lagian kayaknya orangnya kurang fokus ya. Sepertinya bisnis keluarganya masih jadi fokus utama dia.”

Tidak adil sih memang mengambil kesimpulan seperti itu, karena saya cuma pernah ketemu sekali saja. Namun pembenaran saya waktu itu, toh biasanya founder startup hanya dapat kesempatan satu kali untuk membuat impresi pada calon investor.

Kenyataan

Fast-forward ke akhir 2015, ternyata startupnya berjalan juga. Dia mendapatkan pendanaan dari VC yang cukup populer di Indonesia. Kemudian dia berhasil mengukuhkan kerjasama startup-nya dengan pebisnis besar lainnya.

Lebih hebatnya, di awal 2016, saya mendengar startupnya hendak diakusisi oleh salah satu grup konglomerat Indonesia dengan angka yang cukup luar biasa. Namun investornya tidak memberikan lampu hijau. Menurut investornya, setelah valuasinya naik paling tidak 3000 kali lipat, barulah bisa dijual (exit). Saya enggak tahu akhirnya jadi diakuisi atau enggak.

Faktor X

Jujur saja, saya kaget. Ternyata saya terlalu meng-underestimate si foundernya. Mungkin dia memiliki faktor X yang tidak bisa saya lihat waktu itu. Atau (lebih mungkin) memang karena saya juga tidak (belum) mempunyai intuisi yang bagus untuk menilai karakter founder.

Intinya, kalau kalian sedang membangun sesuatu, entah itu startup, yayasan, komunitas, dll, jangan langsung down ketika ada yang mengatakan ide kalian itu tidak bakal jalan. Siapa tahu anda sama seperti founder yang saya ceritakan di atas. Atau siapa tahu yang memberi anda komentar itu cuma orang seperti saya, atau.. emm.. bisa jadi memang beneran perlu dipertimbangkan lagi sih idenya. 😀

Google Keep – Aplikasi Pencatat Sederhana Terbaik di Android

Selama beberapa tahun, saya menyimpan catatan-catatan pendek di ponsel Android saya di dalam sebuah file text. Setiap ada yang mau dicatat, diubah atau dilihat, saya membuka file itu dengan aplikasi teks editor. Ketika saya berganti ponsel, atau me-reset ponsel saya, file text ini saya pindahkan terlebih dahulu ke komputer, lalu saya transfer balik. Terus begitu.

Saya tahu ada aplikasi Evernote dan lain-lainnya yang bisa digunakan untuk fungsi ini. Canggih-canggih pula. Auto-sync ke cloud, bisa dibuka di mana saja. Sayangnya justru dari beberapa aplikasi yang saya coba, kebanyakan malah overkill. Kebanyakan fitur.

Sampai akhirnya suatu hari saya upgrade sistem operasi di Nexus 4 saya. Setelah restart, muncul aplikasi baru di Android saya. Google Keep. Saya buka, dalam hitungan detik saya langsung bisa menebak ini adalah aplikasi pencatat. Saya coba sedikit. Lalu saya tinggalkan. Entah mengapa saya masih tidak percaya dengan penyimpanan cloud, auto-sync, bla..bla..bla nya.

Sampai akhirnya saya pernah eksperimen mengganti ROM Nexus 4 saya ke MIUI. Dan apesnya, saya lupa membackup file catatan saya tadi itu. Hilanglah sudah. Di desktop saya backup terakhir adalah 3 bulan sebelumnya.

Dan sejak saat itu saya tobat, dan menggunakan Google Keep. Dan setelah rutin menggunakan saya baru sadar begonya saya, kenapa gak dari dulu pakai aplikasi ini. Karena fungsinya persis seperti yang saya butuhkan.

[Sumber: Google Play]

Di Google Keep hal-hal yang membuat saya betah:

  • Antarmuka nya sederhana dan gampang dipahami. Mau dipakai dengan sederhana (cuma nyatet teks), bisa banget gak keganggu. Tapi mau dipake ribet (ganti background warna, set reminder, kasih label, title, dll) juga bisa.
  • Karena dari Google, jadi gak usah khawatir lah dengan potensi server down, data hilang, dll.
  • Aplikasinya ringan dan ringkas.
  • Ada versi webnya: keep.google.com. Dan di web pun bisa digunakan seperti di aplikasinya langsung.
  • Bisa di-share (saya menggunakan akun Google yang berbeda untuk Android dan GMail)

Tips:

Saya sering menggunakan Google Keep ini untuk copy-paste teks dari ponsel Android saya ke desktop dan sebaliknya. Gampang sekali, copy teks yang anda mau (entah itu URL, tulisan, dll), paste di Google Keep. Langsung tersedia deh di ponsel maupun di website (desktop).

Oh iya, tidak semua ponsel Android menyertakan Google Keep secara default. Kalau anda memerlukan aplikasi seperti ini, jangan lupa install dulu dari Play Store.

7 Kali ke Service Center Asus, Akhirnya Berganti ke Xiaomi

[Foto: cheshireeastcouncil | flickr.com]

Saya sempat pakai Asus Zenfone 2 (yang RAM 4GB, memori 32 GB). Saya cukup puas dengan ponsel ini. Selain harganya tergolong lumayan (saya beli gak sampai 4 juta rupiah), spesifikasinya juga mumpuni. Layar lega tapi gak gede-gede amat, performa dan baterai pun menunjang. Puas lah.

Singkatnya, ponsel saya ini jatuh, dan layarnya retak parah. Jadi saya harus ke service center untuk mengganti layarnya.

Ke Service Center – I

Hari Sabtu (kalau gak salah ini di Agustus 2015), saya ke service centre Asus di STC Senayan (sebelahan sama Mall Plasa Senayan). Ternyata Sabtu mereka cuma buka dari jam 10 sampai jam 1 siang. Saya sih datangnya sekitar jam 12 siang. Masalahnya, kita harus ambil nomor antrian dulu, dan jumlah antriannya dibatasi, kalau gak salah cuma 30 orang deh. Kecuali nanti pas semua nomor antrian kelar dipanggil, tapi masih belum jam tutup, mungkin masih bisa dilayani. Sewaktu saya datang, semua nomor antrian sudah habis.

Ke Service Center – II

Sabtu minggu depannya saya datang lagi sekitar jam 10 lebih 15. Lah, nomor antriannya kok sudah habis lagi? Dengar cerita dari orang-orang, ternyata nomor antriannya itu diletakkan di luar dari Jumat malam. Jadi orang-orang sudah pada ambil dari Jumat malam sebelumnya. Selain itu ada yang ngaku dia masih bisa dapat pagi itu karena dikasih nomor antrian dari satpam, tentunya dengan “imbalan seikhlasnya.” Entahlah ini beneran atau cerita-cerita mereka saja. Read More

Yang Wajib Dilakukan Ketika Mengganti Alamat Email

[Foto: dskley | flickr.com]

Ada 2 media komunikasi jaman sekarang ini yang punya pengaruh besar ketika berganti. Setidaknya menurut saya, yaitu: Nomor Ponsel dan Alamat Email. Saya kebetulan baru melakukan yang terakhir ini.

Jadi apa saja yang perlu dilakukan ketika kita mengganti alamat email?

  1. Bikin email baru (pastinya ya). Untuk kasus saya, saya pakai GMail.
  2. Import semua isi inbox email lama ke email baru. Ini terlihat sederhana tapi sebenarnya agak rumit. Nanti saya ceritakan di bawah.
  3. Di email lama, jangan lupa nyalakan fitur forwarding message. Jadi setiap ada email baru yang masuk ke email lama, otomatis dikirimkan juga ke email baru kita. Caranya? Cari aja di bagian setting, terus googling sendiri ya. He..
  4. Di email lama nyalakan fitur Auto-Reply. Isinya? Intinya ngasih tahu kalau kita sudah ganti ke alamat email yang baru. Jadi jika suatu saat ada orang yang masih mengirimkan email ke alamat email yang lama, dia tahu alamat email kita sudah ganti.
  5. Update semua akun yang menggunakan alamat email lama kita. Beberapa prosesnya tidak semudah yang saya kira. Nanti saya ceritakan juga di bawah.

*Yang paling penting sih sebenarnya poin no 3 dan 4.

Lalu bagaimana jika ternyata alamat email kita yang lama sudah tidak bisa diakses ketika mau ganti ke alamat email yang baru? Ya apes sih. Mau gimana lagi. Berdoa yang banyak aja.

Import Email Lama ke Email Baru

Email saya yang lama sebenarnya di Google juga, cuma menggunakan custom domain. Dan email saya yang baru adalah email GMail generic. Tapi ternyata mengimpor email sesama Google ini tidak semudah yang saya duga. Ini beberapa opsinya:

  1. Download semua email lama saya via Outlook, Thunderbird, atau aplikasi mail clientnya. Terus upload lagi ke email baru. (Googling aja tutorialnya). Tapi ini gak mungkin buat saya. Gila, itu isi email berapa tahun. Besarnya udah belasan GB. Padahal internet saya cuma modal TelkomselFlash. Ok, skip.
  2. Di GMail saya yang baru, saya setup import POP Mail account dari akun email lama saya. Kelihatannya ini paling gampang. Toh sesama Google, pasti cepat harusnya. Kenyataanya? Enggak. Proses import nya berhenti di sekitar email saya tahun 2011. Entah kenapa. Sudah coba beberapa kali, masih gagal juga. Ok, skip.
  3. Kebetulan saya punya domain nganggur. Akhirnya domain ini saya pakai buat bikin email temporary di ZohoMail, pake custom domain (Free loh). Ternyata Zoho nyediain fitur mail migration. Nah cocok. Saya import deh email lama saya ke akun email temporary ini.
  4. Dari GMail (email baru saya), saya import lagi email di Zoho tadi via POP3. Anehnya, di sini gak ada masalah. Ok, done.

*poin no 3 ini butuh pengetahuan teknis. Anda harus setup nameserver, MX record, dll. Jadi silahkan googling aja untuk pastinya ya. (Iya.., saya males bikin tutorialnya).

Update Semua Akun dengan Email yang Baru

Yang kepikiran pertama kali, “Saya punya akun di mana saja ya?” Duh.. Banyak banget. Ok, saya urutkan dari mulai yang krusial, sampai ke seingatnya aja.

  1. Internet Banking. Nah.., untuk BCA gampang sekali. Untuk Bank Mandiri? Duhh.. *ngelus dada*. Butuh seminggu cuy. Nih detailnya.
  2. Twitter, Facebook, Path, Linkedin, Tumblr dkk (kalau ada), err.. apalagi ya? Oh iya Instagram (pas nulis ini baru inget), jarang pake sih.
  3. Go-Jek, Uber, Grab, Traveloka, AirAsia (all transportation)
  4. Credit Card! (ternyata ini kudu via telpon, beda “manajemen” dengan bank nya). Tapi cepet sih, sekitar 2 hari kalau gak salah.
  5. Akun di blog ini!
  6. Akun-akun teknis: Domain (saya pakai Name.com), Hosting (saya pakai 2 layanan berbeda), Cloud (Oh syit.., ini juga baru keingetan *brb*)
  7. Akun broker saham. Nah ini repot. Harus isi form, tanda tangan, kasih materai, lengkapi fotokopi KTP dan NPWP, lalu dikirim hardcopy-nya. Aselik, gak bisa online cuy.
  8. PayPal !
  9. DJP Pajak – e-filing. Sudah 3 tahun terakhir ini saya laporan SPT Pajak via online. Namanya DJP Online. Di bagian pengaturan profil ada 2 kolom email, “EMAIL DJPONLINE” dan “EMAIL” saja. Yang bisa diganti hanya “EMAIL DJPONLINE”. Saya gak tahu yang “EMAIL” itu buat apa, dan kenapa gak bisa diganti.
  10. Apple ID  (saya pakai Mac)
  11. Entah situs-situs apalagi yang pernah saya daftar. Biasanya baru inget dari email yang masuk. (IFTT, Feedly, AppAnnie, Wattpad, Medium, Financial Times, dsb).

Tips: Itulah gunanya mengaktifkan fitur forwarding dari email lama ke email baru. Jadi di email baru kita bisa tahu masih ada layanan-layanan yang dulu kita pernah daftar, tapi masih menggunakan email lama.

Jadi, sudah lebih siap untuk ganti alamat email?

Di Internet Banking Bank Mandiri Ternyata Tidak Bisa Mengganti Alamat Email

Mengganti alamat email itu implikasinya banyak. Karena di jaman sekarang ini biasanya kita punya akun di berbagai fasilitas online, dan kebanyakan menggunakan email sebagai acuan komunikasi utama. Salah satunya adalah Internet Banking. Kebetulan saya sendiri pakai Internet Banking dari Bank Mandiri.

Yang mengejutkan adalah, di Internet Banking Bank Mandiri ternyata kita tidak bisa mengganti alamat email kita sendiri. Aneh juga sih.

Ini menu yang tersedia di Internet Banking Bank Mandiri:

Sepertinya sih, dulu ada fiturnya. Karena sewaktu googling saya menemukan tutorialnya. Tapi entah kapan menu ini malah dihilangkan.

Solusi

Saya telpon ke Call Center Bank Mandiri, kata CS nya saya harus ke Kantor Bank Mandiri terdekat. Di situ bisa diganti. Gak dibilang sih Kantor Cabang, atau Kantor Cabang Pembantu (KCP).

Jadilah saya datang ke salah satu KCP Bank Mandiri. Awalnya CS di KCP ini bilang saya bisa ganti sendiri di Internet Banking Bank Mandiri. Lalu dia bersiap-siap mendemokannya. Daaan…, dia bengong. “Oh iya, gak ada ya Mas menunya?”

Penjelasan berikutnya malah bikin saya lebih bingung lagi. CS nya bilang mereka juga tidak bisa bantu penggantian alamat email. Saya harus ke kantor pusat. Lah…?

Saya bersikeras. Saya tanya, lalu kenapa ketika saya tanya ke Call Center, CS nya bilang bisa dilakukan di kantor Bank Mandiri terdekat?

Baru akhirnya CS di KCP ini menelpon seseorang. Mungkin superiornya. Akhirnya dia mengatakan hal ini bisa dilakukan dengan 2 opsi:

  1. Mengisi form pengajuan, nanti akan diteruskan ke kantor pusat. Tapi tidak ada SLA nya. Karena yang tahu hanya kantor pusat. Bisa jadi sampai seminggu atau lebih.
  2. Saya mengajukan penghapusan internet banking Mandiri, bisa di KCP ini atau via Call Centre. Setelah itu 2 hari kemudian, lakukan registrasi internet banking Mandiri lagi via mesin ATM. Lalu aktivasi lagi via website Bank Mandiri. Saat proses aktivasi nanti alamat email yang lama akan muncul, di situ bisa diganti.

Hmm, tidak ada satupun yang bisa dilakukan dengan cepat ya.

Saya tertarik opsi 2, karena paling enggak cuma butuh 2 hari. Masalahnya detail langkah-langkahnya ini yang kurang jelas. CS nya bilang ke saya “Ooo, tenang, Mas. Ada brosur petunjuknya kok. Lengkap di situ, tinggal ikuti saja.”

Saya lihat brosurnya. Ternyata beda. Ini adalah brosur untuk mendaftar Internet Banking pertama kali. Tidak ada satu bagian pun yang menjelaskan kapan memasukkan / mengganti email. Yang saya takutkan, nantinya ternyata malah prosesnya berbeda dengan yang diceritakan. Ujung-ujungnya saya yang repot. Ya sudah, saya pilih opsi 1 saja. Paling enggak di saya lebih ringkas.

Saya mencoba memahami mengapa fitur ini dihapus oleh Bank Mandiri. Pikiran pertama saya mengatakan mungkin demi keamanan. Kalau memang iya, lalu kenapa bank lain bisa? BCA misalnya. Di e-banking BCA saya cukup mengganti via websitenya saja menggunakan token.

Moga-moga fitur sederhana tapi krusial ini dihadirkan kembali oleh Bank Mandiri.

Sekarang Saya Baru Paham Apa itu Storial.co

Baru saja kemarin saya nulis tentang Wattpad. Dan ini beneran loh, saya itu bener-bener baru tahu tentang Wattpad beberapa hari lalu. Sementara itu, lucunya, saya sudah tahu (dengar) Storial dari beberapa waktu lalu.

Jauh sebelum saya tahu Wattpad, saya mendengar kabar ada “startup” baru lagi di Indo, namanya Storial.co. Sekilas baca deskripsinya ada kata “penulis” dan “online”. Langsung saja saya teringat NulisBuku.com. Dan benar ternyata, Ollie (pendiri NulisBuku.com) ternyata juga adalah pendiri Storial.co.

Sekilas baca, saya gak benar-benar ngerti detail apa sebenarnya Storial.co itu. Yang tertangkap di kepala saya adalah “Ini tempat penulis cerita untuk bisa dapatkan uang. Jadi kaya NulisBuku.com, bedanya di sini bacanya bener-bener online, bukan beli PDF dulu.” Hingga akhirnya saya ketemu Wattpad (ya seperti ulasan saya kemarin).

Nah, tadi sebenarnya saya sedang mencari komunitas/grup pengguna Wattpad Indonesia. Dan ketemu lagi lah sama Storial. Nah.., sekarang saya baru paham apa itu Storial. Setelah kemarin beberapa hari menggunakan Wattpad, bagi saya, pada dasarnya Storial.co ini adalah versi Indonesia nya Wattpad. Seriusan, UI/UX nya aja mirip banget.

Di satu sisi saya cukup gembira, karena ternyata sudah ada Wattpad versi lokal, sehingga gak pusing cari tulisan-tulisan original dari penulis lokal. Tapi di satu sisi agak sedih karena mirip banget sama Wattpad. Tapi.. yaaa.., saya cuma pengguna aja. Terserah daaah..

Politik & Jualan

Kekhawatiran saya cuma satu. Di Indonesia itu, platform media UCG (User Generated Content) seringkali berubah wujud jadi 2 jenis: Tempat Jualan dan/atau Tempat Kampanye Politik.

Facebook, Whatsapp, Twitter sudah jadi contoh nyata. Di Storial, saya beberapa kali melihat tulisan yang menjurus ke politik. Karena isinya bukan lagi karangan fiksi, tapi potongan-potongan dari artikel dari media lain. Entahlah, apa tujuannya. Mudah-mudahan Ollie dkk bisa antisipasi ini.

***

Eh iya, ini dia tulisan cerpen pertama saya di Storial. 10 menit sebelumnya baru saya publish di Wattpad juga sih. 😛 Judulnya “Rumah Siapa”.

P.S: Ini gak ada yang mau bikin SoundCloud versi lokal juga sekalian? Saya dukung looh. Susah tau cari karya-karya musik original dari Indonesia.

Wattpad.com – Tempat Komunitas Penulis Cerita Berkumpul dan.. Ya Menulis Cerita

Beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya saya mencoba membuat tulisan panjang. Ala-ala novel. Karena ide tulisan kadang muncul di mana saja, saya memutuskan untuk meletakkannya di online. Tepatnya di hosting blog ini, dengan engine MediaWiki. Tujuannya agar saya bisa menulis kapan saja di mana saja.

Tapi ini membuat saya penasaran, jangan-jangan sebenarnya di internet sudah ada tempat / platform untuk kebutuhan seperti ini. Tempat yang memang ditujukan untuk menulis dan berbagi cerita original secara online.

Googling bentar, akhirnya ketemu Wattpad.com. Kaget juga, saya sama sekali belum pernah dengar tentang ini. Padahal Wattpad termasuk startup yang dapat investment dengan angka yang tidak kecil loh. Selama ini saya tahunya cuma GoodReads -yang mana tujuannya untuk review buku, bukan tempat menulis dan berbagi.

Awalnya saya coba aplikasi Androidnya. Belakangan saya mengunjungi versi website nya. Singkatnya Wattpad ini seperti SoundCloud nya para penggemar cerita. Bisa cuma baca-baca saja, atau bisa juga membuat karya tulisan sendiri. Persis seperti yang saya cari.

Isinya sejauh ini sesuai harapan saya. Di sini kita bisa menemukan cerita-cerita original buatan penulis-penulis yang tidak (belum) terkenal. Desain tampilannya membuat cukup nyaman. Logis dan memudahkan.

Awalnya saya kira Wattpad ini hanya ramai bagi penulis luar negri. Tetapi setelah saya atur setelan bahasa ke Bahasa Indonesia, ternyata banyak sekali penulis-penulis dari Indonesia. Tapi sama seperti di toko buku, genre ceritanya memang kebanyakan cinta-cintaan sih. Bukan genre kesukaan saya.

Kekurangannya? Saat ini (setahu saya) belum bisa cari (search) cerita khusus yang berbahasa Indonesia. Tapi mungkin ke depannya bakal ada. Setidaknya begitu kata halaman resmi Wattpad Indonesia.

Cerita buatan saya? Err.. nanti deh di-post. Sekarang baru 5 part, dan masih di-set private. 😀

Catatan: