Mengapa Tampilan Aplikasi Website untuk Enterprise Jelek?

Mungkin anda familiar dengan beberapa aplikasi website yang dibuat untuk enterprise (red: big corporate). Biasanya tampilannya jelek. Seperti dibuat jaman Geocities.com masih beredar. Padahal mungkin aplikasi tersebut dibuat tahun 2014. Cukup aneh ya? Di saat banyak sekali desainer web yang bisa membuat tampilan yang indah dengan tanpa menghilangkan aspek kemudahan penggunaannya, ternyata desain norak bin cupu masih saja digunakan. Dan dibayar mahal pulak. Kalah sama startup-startup yang baru seumur jagung.

Sebelum saya masuk ke dunia enterprise, saya juga heran. Tetapi setelah berada di dalamnya saya mengerti. Pada dasarnya banyak pertimbangan sebuah perusahaan enterprise untuk membeli software atau aplikasi website. Dan desain, bukan jadi prioritas utama. Hal – hal seperti berikut lebih jadi pertimbangan:

  • Siapa vendor / pihak yang mengembangkan aplikasi tersebut? Siapa saja client nya selama ini? Secara legal status perusahaannya bagaimana?
  • Support nya bagaimana? Apakah bersedia “fleksibel”, atau justru kaku? SLA (Service Level Agreement) nya bagaimana? On Site support tersedia?
  • Fitur-fiturnya apa saja? Apakah bisa diintegrasikan dengan sistem yang sudah digunakan saat ini oleh perusahaan?
    • Single Sign On dengan Active Directory
    • Centralize Administration
    • Fitur Delegation (Jika ada yang cuti, akun-nya bisa didelegasikan sementara)
    • Integrasi ke database internal perusahaan
  • Security. Apakah sudah teruji? Sudah pernah disertifikasi? Memenuhi standar OWASP kah?
  • Sistem maintenance nya bagaimana? Auto-update? By subscription? Manual visit?
  • Sistem backupnya bagaimana? Secepat apa bisa di-restore jika dibutuhkan? Up Time nya bagaimana?
  • Semudah apa memindahkannya dari satu server ke server lain? Kalau di-cloud gimana?
  • Bisa trial? PoC (Proof of Concept) bisa dilakukan?
  • Fitur reporting nya bagaimana? Bisakah melihat report siapa saja employee yang rajin akses, chart komparasi trend kenaikan penggunaannya dalam beberapa periode, atau report-report data lainnya di dalam aplikasi website ini?
  • dll…
  • Berapa biayanya? (dan seringkali jadi faktor penentu tunggal)

Jika aplikasi website untuk enterprise memenuhi prasyarat di atas, tetapi desainnya jelek, masih sangat mungkin digunakan oleh client enterprise. Sebaliknya, jika desain tampilan website nya bagus sekali, tetapi prasyarat di atas banyak yang tidak lengkap, 90% kemungkinannya bakal ditolak. Silahkan cari target market lain (mungkin UKM, atau middle class company, atau startup).

*Yang dimaksud di sini tentunya aplikasi website untuk internal perusahaan ya. Bukan aplikasi website untuk digital marketing, atau corporate site standar.

*Akibat barusan baca ini.

[Update] Beli Aplikasi Android di Google Play Store Lebih Murah dengan Kartu Kredit daripada Telkomsel Billing

Lengkap sudah. Developer aplikasi Android Indonesia bisa menjual aplikasinya di Play Store. Pengguna Android dari Indonesia juga sudah bisa membeli aplikasi dengan cara potong pulsa. Ekosistemnya sudah lengkap.

Setahu saya ada 2 operator yang menyediakan fitur ini: Indosat dan Telkomsel. Kemarin sempat terdengar kabar di Twitter kalau untuk Indosat sempat di-stop. Saya enggak tahu sekarang sudah bisa lagi atau belum.

Untuk Telkomsel Billing, saya sudah coba sendiri. Saya beli aplikasi game Kingdom Rush, dengan label harga Rp 12.000. Kata Google sih ini sudah termasuk pajak dan GST. Tetapi total biaya yang dikenakan oleh Telkomsel adalah Rp 13.440. Dari penjelasan akun Twitter Telkomsel ternyata memang harga tertera di Play Store masih belum mencakup biaya pajak PPN 10% dan biaya jasa 2%.

Saya sebelumnya pernah juga membeli aplikasi game di Play Store, namanya Game Dev Story, buatan studio game di Jepang. Seingat saya harganya waktu itu Rp 20.000. Menggunakan Google Wallet (yang terkoneksi ke kartu kredit saya). Sewaktu transaksi seingat saya tidak ada biaya tambahan lain.

Selain itu bulan lalu juga saya subscribe Majalah Tempo di Google Newsstand. Harga yang tertera adalah Rp 129.000. Informasi dari Google Wallet yang saya terima, saat transaksi biayanya tetap Rp 129.000, tanpa biaya tambahan.

Saya kurang tahu sih, apakah nanti di billing statement kartu kredit saya baru keluar biaya tambahan lain-lain terkait pembelian dengan Google Wallet ini. Asumsi saya sih tidak. Jika benar, maka kesimpulannya, kalau pertimbangannya adalah biaya, lebih murah membeli aplikasi di Play Store dengan kartu kredit (via Google Wallet) ketimbang Telkomsel Billing.

Tapi itu baru pengalaman dan info saya yang terbatas. Mungkin ada yang mau share pengalamannya?

[Update]
Carrier Billing Indosat masih aktif. Hampir sama seperti Telkomsel, Indosat mengenakan biaya tambahan 10% dari harga tertera di Play Store. Tapi saya tidak tahu apakah ada biaya jasa juga atau tidak.

Sukses dengan Situs Wisata, YogYES.com Luncurkan LokasiAsik.com

YogYES.com adalah salah satu contoh web-startup lokal yang terbilang sukses di Indonesia. Didirikan oleh Agus Supriadi dan Indah Kristianingsih tahun 2003 silam, tahun ini YogYES pun semakin mantap dari sisi bisnis. Selain “naik kelas” dengan berganti badan hukum dari PO menjadi PT. Portal Wisata Indonesia, web-company asal Jogja ini juga akan segera meluncurkan logo barunya.

Nah di luar itu, YogYES juga sepertinya tidak berhenti berinovasi. Setelah pengerjaan konsep dan teknis yang terbilang cukup lama (beberapa tahun), akhirnya YogYES meluncurkan LokasiAsik.com, sebuah situs tempat berbagi rekomendasi / memberi rating tempat makan, wisata, nongkrong, belanja, hiburan, menginap, dll. (sesuai deskripsi di webnya).

Mulai aktif setidaknya dari Agustus 2014 lalu. Saat ini LokasiAsik sudah mencatatkan paling tidak 1.000 visit per hari. Cukup besar untuk sebuah web startup yang (menurut saya) masih under the radar.

Eksekusi pemanfaatan Google Maps ke dalam LokasiAsik cukup mulus. Menemukan lokasi dan review lokasi cukup mudah dengan fitur ini. (Tidak seperti situs pencarian properti yang seringkali asal-asalan menempatkan lokasi propertinya).

Saya sendiri bukan pehobi jalan-jalan atau wisata. Jadi kurang bisa mengulas pengalaman menggunakan situs ini. Silahkan anda kunjungi dan rasakan sendiri ya.

Model bisnis? Hmm.., saya rasa bakal gak jauh beda dengan YogYES sekarang sih ya. Oh belum tahu model bisnis YogYES? Ya silahkan ubek-ubek sendiri aja ya. *blogger males*, haha.

Sejauh ini situs-situs lokal yang mengunggulkan fitur “sosial”-nya banyak yang mati. Sebutlah ada Bouncity, Wikimu, Fupei, SixReps, Koprol, BundaGaul, Goorme dan Urbanesia. Nah, LokasiAsik ini pun sekilas saya lihat fitur “sosial”-nya cukup kuat. Ini akan jadi pertaruhan yang cukup besar untuk YogYES, sekaligus jadi barometer di Indonesia, apakah sebenarnya masih ada celah untuk situs social-sharing-crowdsourcing lokal menjadi besar? Atau memang untuk masa sekarang harapan web-company Indonesia masih di seputar media online dan e-commerce saja?

Seperti Inilah Sulitnya Membuat Satu Halaman Website

Sewaktu saya masih belajar HTML saja (jaman SMA), saya enggak pernah percaya kalau membuat satu halaman website static, bisa membutuhkan waktu 2 bulan, bahkan lebih. Karena secara teknis, tidak besar tantangannya. Tetapi setelah saya bekerja, ternyata kenyataannya seperti itu.

Saya ambil contoh. Halaman website yang perlu dibuat isinya hanya: judul singkat dalam format teks, satu video, dalam satu halaman website. Tidak perlu ada animasi, efek-efek aneh-aneh, kolom komentar, dll. Benar-benar hanya halaman website biasa, dan static (tidak ada informasi yang secara regular diupdate).

Bagi web developer, ini pun tergolong mudah. “Ahh elah.. Bikin satu page HTML. Kasih tag <h1> di judul. Videonya pake JWPlayer aja. Kalau mau agak bagus, pakai aja template-template jadi. Atau biar di mobile enak dilihat, pakai Bootstrap atau Foundation juga bisa. 20 menit juga itu jadi maahh…”

Kenyataannya? 2 bulan ! Beneran. Total waktu dibutuhkan dari permintaan itu disebutkan, sampai dengan akhirnya halaman website itu jadi, bisa jadi butuh waktu 2 bulan, atau bahkan lebih. Kenyataan itu keras bung. Di perusahaan-perusahaan besar ini awam terjadi. Kenapa bisa begitu? Begini contohnya: Continue reading

Tokopedia vs Koprol

Sekitar tahun 2009, sewaktu berkunjung ke Jogja, saya dan seorang sahabat lama ngobrol soal startup-startup di Indonesia. Waktu itu yang cukup hot adalah Koprol. Menarik, karena eksekusinya serius. Tapi dalam pandangan saya waktu itu Koprol bukanlah sesuatu yang akan bertahan lama. Tapi lebih kepada trend. Seperti film bioskop, heboh untuk beberapa waktu, setelah itu jadi pembicaraan, tetapi orang-orang tidak lagi mau membeli tiket untuk menonton film ini beberapa bulan kemudian.

Waktu itu sahabat saya berpendapat lain, menurutnya Koprol di masa depan tetap akan besar, tapi mungkin tidak di kota besar lagi, mungkin geser ke kota “lapis dua”. Yang di kota besar cepat bosan, yang di daerah lebih lama mengadopsi trend, kurang lebih begitu ujarnya. “Kalau menurutku sih Tokopedia yang kans nya bakal bertahan lama,” sanggah saya.

Tim Tokopedia yang (setidaknya di mata saya) terkesan low-profile, tidak gembar gembor di media, jarang “show-off” di acara-cara startup yang ramai kala itu, membuat saya justru yakin dengan potensi mereka.

Akuisisi Koprol

Pada Mei 2010, Koprol diakuisisi Yahoo. “Tuh kan bener, potensinya besar. Yahoo aja bisa lihat itu.” ujar sahabat saya itu sumringah. Saat itu saya juga jadi agak ragu. “Ahh, mungkin memang saya salah melihat potensi Koprol.” Belum ada berita heboh dari Tokopedia yang saya dengar kala itu.

Lalu di penghujung tahun 2010, dalam sebuah acara di Kempinski, tersebut kabar kalau transaksi perbulan yang terjadi di Tokopedia sudah mencapai sekitar 3 Miliar Rupiah per bulan. Yang kemudian dikomentari oleh CMO Kaskus kala itu, “Sori ya, di Kaskus kita sudah 6 Miliar per bulan.” sambil setengah bercanda. Tapi tetap tidak ada kesan gembar-gembor berlebihan yang dilakukan oleh Leon maupun William (para pendiri Tokopedia). Entahlah kalau tidak sampai ke telinga saya.

Di sekitar kuarter ketiga tahun 2011, di sebuah kafe di Grand Indonesia, saya berdiskusi dengan salah satu pendiri startup (yang akhirnya mendapatkan investasi sekitar 3,5 Miliar dari venture capital asal Jepang). Dia menanyakan ke saya, dari segitu ramainya startup Indonesia, mana yang kira-kira bakal bertahan lama atau berkembang pesat. Jawaban saya tetap sama, Tokopedia, walaupun saya sudah lama tidak mendengar kabar tentang Tokopedia. Oh, pilihan teman saya ini? Ya startup dia sendiri pastinya. Haha.

Magud

Lalu Agustus 2012, terjadilah kegemparan. Koprol akhirnya magud. Ya banyak faktor sih tutupnya. Faktor utamanya sepertinya karena CEO Yahoo kala itu (Carol) memutuskan untuk mengarahkan Yahoo menjadi perusahaan media, bukan lagi perusahaan teknologi. Walaupun akhirnya Carol pun dipecat, tapi nasi sudah jadi bubur. Koprol sudah ditutup. Founder asli Koprol waktu itu kabarnya mau meluncurkan ulang Koprol. Tapi sampai hari ini masih tidak kelihatan tanda-tandanya.

1,2 T

Dan, pada Oktober 2014, setelah dunia startup Indo lama senyap, terjadi kegemparan lagi. Tokopedia membukukan investasi senilai 1,2 Triliun Rupiah ! Nah, ramalan saya tahun 2009 jadi kenyataan. Koprol tidak bertahan lama dan Tokopedia masih bertahan. Kalau waktu itu saya dan sahabat saya itu taruhan, saya sudah menang nih. Hehe.

Tapi itu dulu. Sekarang saya tidak lagi melihat Tokopedia sebagai perusahaan yang akan dijalankan jangka panjang (seperti eBay, atau Amazon). Sepertinya Tokopedia sekarang mengincar exit (ala Instagram, WhatsApp, dkk). Atau memang dari dulu targetnya exit ya?

Eh iya, Taobao kan belum masuk Indonesia tuh. Di China sana, eh.., Tiongkok kalau kata Pak SBY, Taobao kan besar banget. Ntar kalau dia nyusul “saudaranya”, Baidu, masuk pasar Indonesia, kan lebih masuk akal kalau dia akuisisi aja ketimbang bikin baru. Nah, apa itu target Tokopedia sekarang? 😀 Toh, role model nya William memang Jack Ma sih.

[UPDATE]

Tanggapan langsung dari William bisa dibaca di komentar di bawah.

Suara.com – Dalam Hitungan Bulan Masuk 40 Situs Terbanyak Dikunjungi di Indonesia

Masih ingat Suara.com ? Portal berita ini tergolong pendatang baru, baru diluncurkan di sekitar Maret 2014 lalu. Dan dalam hitungan bulan, hari ini (Oktober 2014) saya lihat di Alexa, peringkatnya sudah di posisi 40 untuk Indonesia. Ini artinya Suara.com adalah situs yang jumlah pengunjungnya tertinggi nomor 40 se-Indonesia (setidaknya versi Alexa).

Dulu saya sempat menduga kalau sumber trafik mereka akan sangat banyak didongkrak oleh SEO, berhubung brand “Suara.com” sendiri sepertinya belum seperti Detikcom. Dari info di Alexa tersebut memang awal-awal terlihat sumber trafik kebanyakan dari search (hampir 20% dari total trafik), tetapi ternyata belakangan hanya sekitar 5% nya saja dari hasil search.

Lalu darimana Suara.com bisa mencapai trafik sebesar itu dalam waktu singkat? Dugaan ngasal saya sih sebagian disumbang dari digital-ads. Cukup sering saya melihat iklan mereka di Facebook. Dan belakangan sudah cukup sering terlihat ada teman-teman saya yang share berita dari Suara.com. Cukupkah digital-ads menyumbang trafik begitu besar sehingga bisa mendongkrak trafik sebesar itu? Menurut saya sih tidak. Tapi saya tidak tahu darimana lagi sumber trafiknya itu berasal. Ya, bisa jadi memang pengunjung organiknya sendiri sudah tumbuh besar. Entahlah.

Tim redaksi Suara.com sendiri sepertinya juga mengalami perubahan (perkembangan), dan nama Yan Gunawan yang dulu tertera di halaman Redaksi sekarang tidak tertera lagi. Tetapi sepertinya Yan Gunawan tetap menjadi salah satu (?) pemilik portal berita ini.

Lalu akan kemana kah Suara.com setelah mencapai ranking 40 di Indonesia? Mari kita lihat nanti. 😉

 

Sportdio.com – Mampukah Menjadi Zappos.com-nya Indonesia?

sportdio
Seorang teman bercerita, di samping kerjaannya sebagai analyst IT, dia bersama 3 orang temannya meluncurkan toko sepatu online, Sportdio.com namanya. Kata “sport” di Sportdio sendiri digunakan sejak awal karena memang rencananya jika sudah cukup besar, mereka bisa ekspansi tidak hanya menjual sepatu, namun tetap di sekitar produk olahraga.

E-commerce bukanlah suatu hal yang baru, termasuk di Indonesia. Banyak yang sudah meluncurkan toko online. Mulai dari skala perorangan, paruh waktu, sampai dengan yang didukung oleh grup bisnis besar yang “dananya tak terbatas”. Mulai dari skala iseng-iseng, penjual serius sampai dengan distributor besar atau importir mungkin. Sportdio.com sendiri masuk kategori penjual serius, tetapi untuk saat ini belum masuk ke grup bisnis besar.

Para pendiri Sportdio adalah 4 orang anak muda, teman lama sejak jaman SMA. 2 dari antara mereka saat ini masih bekerja fulltime di perusahaan. 2 lagi sudah fulltime mengurusi Sportdio. Kenapa 2 orang tadi tidak resign dan fulltime juga di Sportdio? Apa mereka nggak serius? Nah, justru karena serius maka 2 orang masih tetap kerja sebagai karyawan. Dari perhitungan mereka, sebagai pemain baru, akan banyak dana yang diperlukan untuk belanja modal, operasional dan marketing. Dengan tetap bekerjanya sebagian dari tim mereka, maka paling tidak dalam kondisi tanpa penjualan pun, mereka masih tetap bisa beroperasi normal.

Secara bisnis, Sportdio.com sudah mencatatkan sejumlah transaksi tiap bulannya. Saya tidak tahu angkanya, yang jelas belum sebesar Zalora, Blibli, dan e-commerce kaliber raksasa lainnya itu.

Dengan konsep mereka yang fokus ke sepatu, tentu mengingatkan kita pada Zappos.com yang awalnya juga adalah toko sepatu online. Dan memang salah satu dari tim Sportdio juga pernah membaca bukunya Tony Hsieh (CEO Zappos). Bisa jadi mungkin inspirasinya memang dari Zappos.

Namun, jika merujuk pada Zappos, dari berbagai wawancara dengan Tony Hsieh maupun Nick Swinmurn (founder Zappos), kita ketahui kalau mereka pun sempat mengalami masa-masa di mana mereka hampir bangkrut. Tidak sekali dua kali. Tony Hsieh harus menjual apartemen-apartemennya satu demi satu demi menutup aliran kas Zappos. Bahkan 6 tahun sejak didirikan, Zappos belum mencapai BEP (Break Even Point). Nah, bukan tidak mungkin, Sportdio.com pun harus mengalami masa-masa ini. Karena seperti bisnis retail lainnya, biasanya pekerjaan berat di awal itu adalah marketing, yang dalam bentuk apapun tetap tidak sedikit biayanya.

Melihat keseriusan teman saya ini, apalagi salah satu dari timnya sebelumnya bekerja di salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia, saya rasa potensi mereka untuk bisa “mencuri” kue e-commerce di Indonesia cukup besar. Bukan tidak mungkin mereka akan jadi Zappos-nya Indonesia. Tinggal masalah berapa lama mereka kuat untuk “bakar duit” sebelum mencapai titik BEP, dan tentunya “duit siapa” yang mau dibakar? 😉

Peta Wisata Jogja 2014 oleh YogYES.com

Image

Mengunjungi suatu tempat wisata populer itu gampang-gampang susah. Soalnya rata-rata tempat wisatanya kita pernah dengar. Misal kalau di Jogja, kita sudah familiar dengan nama Candi Prambanan, Candi Borobudur, Pantai Parangtritis, Malioboro, Keraton, dll. Tetapi lokasi persisnya di mana, biasanya traveler pemula masih belum paham.

Mengingat biasanya waktu berwisata itu biasanya tidaklah panjang, hanya beberapa hari, maka perencanaan wisata yang matang itu perlu banget. Nginep dimana biar gampang menjangkau tempat wisata A, B, C dalam satu hari. Lalu hari kedua bisa gak mengunjungi D, E, F dalam satu kali jalan.

Nah untuk di Jogja, inisiatif YogYES.com untuk membuatkan peta wisata Jogja ini sangatlah membantu perencanaan wisata kita di Jogja. Lengkap dengan koordinat GPS nya cuy..! Dengan peta ini kita bisa tahu misalnya bahwa ternyata tempat wisata A, D, F itu ada dalam satu jalan. Jadi mending hari kedua baru ke B, C, E.

Cara dapetin petanya? Ada beberapa cara. Cekidot.

Detik.com – Sejarah Hingga Penjualannya ke CT Corp

(Ini repost dari blog saya satu lagi, Rijut.com. Blog itu mau saya belokkan ke konten yang lain)

Image

Sebagai web-startup Indonesia pertama yang sukses dengan dukungan pernyataan resmi soal valuasi mereka, maka saya rasa wawancara Bisnis.com dengan Budiono Darsono ini jadi referensi yang bagus.

Catatan:

  1. Detik.com dibeli sahamnya 100% oleh CT Corp sebesar US$ 60jt (sekitar 500 miliar rupiah).
  2. CT Corp adalah juga pemilik TransTV, Trans 7, Trans Studio dan Bank Mega
  3. Sebelumnya saham Detik.com 59% dimiliki oleh Agranet, 39% Tiger Capital, dan 2% Mitsui Capital.
  4. Di tahun 2010 laba bersih Detikcom adalah 20 miliar rupiah, target di tahun 2011 adalah 40 miliar rupiah.

Sejarah lengkapnya bisa dibaca di arsip artikel Bisnis.com ini.

MeetDoctor.com – Web Startup Bidang Kesehatan yang Dibuat oleh Dokter

(Ini repost dari blog saya satu lagi, Rijut.com. Blog itu mau saya belokkan ke konten yang lain)

Image

MeetDoctor sebenarnya sudah sekitar 2 tahun lebih online. Ada beberapa fitur di MeetDoctor ini, tapi bagi saya pribadi top-of-mind nya adalah disini kita bisa tanya – tanya soal kesehatan, dan yang menjawab adalah dokter beneran. Jadi kualitas tanya-jawabnya (harusnya) tinggi ya.

Yang saya sangat sukai di MeetDoctor ini adalah yang membuat konsepnya bukanlah sekadar “tech-people/biz-people” yang punya ide startup di dunia online. Adhiatma Gunawan (pendiri MeetDoctor) adalah seorang Dokter lulusan UNAIR, yang juga pernah membuka praktek di Surabaya. Selain itu Adhiatma juga menjalankan bisnis digital agency yang bernama VP Digital.

Kombinasi dokter + praktisi digital business ini saya rasa pas sekali untuk mengembangkan MeetDoctor.com. Selain itu mereka juga sudah mendapatkan seed-funding sebesar $100.000. Tinggal nanti reaksi pasarnya saja yang kita tunggu.

UPDATE: Selain itu mereka juga mendapatkan investasi sekitar Rp 3,2 Miliar dari sebuah perusahaan Jepang.

Sejauh ini mereka sudah memiliki belasan ribu member dan belasan ribu visitor setiap harinya.

NOTE: Adhiatma Gunawan juga adalah sosok dibalik mommeworld.com (situs informasi seputar bayi dan kehamilan)

MeetDoctor di e27.co

Melihat Tempo.co Lebih Dekat dari Sisi Bisnis

(Ini repost dari blog saya satu lagi, Rijut.com. Blog itu mau saya belokkan ke konten yang lain)

Secara keseluruhan, grup Tempo (kode saham TMPO) di tahun 2012 menghasilkan laba bersih Rp 29,64 Miliar (ini termasuk laba dari penjualan gedung). Nilai ini meningkat dari tahun 2011 yang besarnya Rp 10,38 Miliar.

Portal berita Tempo sendiri dikonsep ulang dan diluncurkan kembali tanggal 23 November 2011, menggantikan portal berita Tempo Interaktif. Peluncuran ulang ini sekaligus peluncuran nama dan alamat barunya : www.tempo.co.

Pendapatan iklan Tempo.co di tahun 2012 naik 50% dibanding tahun sebelumnya (tetapi tidak disebutkan berapa nilainya).

Di bulan Oktober tahun 2012, Tempo.co mencatat 10,7 juta pengunjung dan 51 juta pageviews. Secara rata – rata, sepanjang tahun 2012 Tempo.co mencatatkan 11 juta pengunjung per bulannya, dan total 55 juta halaman yang dilihat perbulan (pageviews). Ini artinya rata – rata pengunjung Tempo.co membuka 5 halaman setiap kunjungan (page per visit).

Selain dari Tempo.co, Grup Tempo juga menjalankan bisnis PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo). Disini tercatat ada 2,6 juta database foto. Selain itu juga ada 1,2 juta expose foto digital yang bisa diakses di www.tempophoto.com.

Continue reading