Tag: ecommerce

Shopious.com vs Jualio.com

Shopious.com adalah tempat para penjual di social media (Instagram) mengiklankan barang jualannya. Kalau si penjual di Instagram tersebut sudah menjadi member di Shopious maka barang dagangannya akan otomatis masuk ke dalam listing di Shopious. Semua transaksi jual beli terjadi di luar Shopious.

Jualio.com pada dasarnya adalah marketplace (seperti Tokopedia dan OLX). Para penjual mengunggah barang dagangannya di Jualio, lalu secara otomatis barang dagangannya ini juga akan ditampilkan di social media yang sudah dihubungkan oleh si penjual ke akunnya di Jualio. Semua transaksi jual beli terjadi di dalam Jualio. Jadi pada dasarnya ini Tokopedia+ (karana ada fitur auto-post ke socmed).

Nah, kalau saya lihat ini dua bisnis di sekitar “jualan online” yang saling berkebalikan. Yang satu dari socmed ditampilin ke website, yang satu lagi dari website ditampilkan ke socmed.

*entahlah kalau ternyata pengertian saya mengenai Shopious dan Jualio salah ya. Begitulah pemahaman saya ketika mengunjungi website mereka dan membaca satu per satu page-page nya.

Model Bisnis – Shopious

Pada awal didirikan oleh Aditya Herlambang sih, sebenarnya model bisnis Shopious sama dengan Tokopedia. Mereka bahkan awalnya yakin 1 tahun setelah didirikan bakal bisa menarik 3% dari tiap  transaksi yang terjadi di Shopious.

Tetapi 8 bulan kemudian mereka berganti arah. Tidak lagi jadi marketplace. Startup yang didirikan oleh mantan iOS developer di Pulse ini menggantinya menjadi website tempat ol-shop di Instagram untuk mengiklankan produk-produknya. Keputusan yang tepat menurut saya, marketplace general sudah terlalu ramai. Isinya pemodal dengan duit tak berseri semua. -_-

Dari yang saya baca-baca, ketika mendaftar di Shopious pertama kali, para “sista” di Instagram tidak perlu bayar. Kalau nanti ada pelanggan yang menghubungi dari Shopious, baru deh diminta bayar. Kalau gak mau bayar? Bye bye sist..

Bayarnya berapa? Paling murah Rp 60.000/bln untuk 10 foto produk.


Saat ini kalau saya lihat dari daftar tokonya, paling enggak ada 1.000 toko yang terdaftar. Kalau semuanya ini sudah berbayar, berarti dalam satu bulan paling enggak Shopious mendapatkan revenue Rp 60.000.000,-. Ya, lumayanlah. Buat nggaji “rockstar-full-stack-ninja-RoR-Django-NoSQL-Docker-etc-engineer” masih cukup lah. 😀

Model Bisnis – Jualio

Kalau bicara Jualio, pasti inget Juale.com. Keduanya diprakarsai oleh  Nukman Luthfie, pemain lama di dunia digital Indonesia. Nukman Lutfhie sempat menjabat Direktur di Detik.com, membangun digital agency Virtual Consulting (sekarang berganti nama jadi Virtuco), membangun Musikkamu.com (bersama operator XL), Niriah.com (tutup), PortalHR.com, dll. Saya sendiri belajar banyak dari beliau sejak dari jaman kuliah.

[UPDATE] Sedikit koreksi. Versi asli tulisan ini disebutkan Jualio didirkan oleh Nukman Luthfie. Yang tepat adalah dirikan oleh Fahmi Bafadhal dengan endorser Nukman Lutfhie.

Juale.com adalah layanan pembuat toko online. Tinggal daftar, bayar, maka kita sudah punya “engine” toko online sendiri, dengan domain sendiri. Dan semua toko-toko yang menggunakan engine Juale, produknya akan dikumpulkan semua di Juale.com. Ya kaya Tokopedia, cuma masing-masing penjual punya alamat website sendiri-sendiri dan tampilannya pun masing-masing. Semua penjual ini harus membayar untuk menjadi member di Juale.com.

Sayang Juale akhirnya magudTM. Target market Juale saat itu adalah UKM-UKM yang baru mau masuk ke online. Menurut saya mungkin fokusnya ke UKM-UKM itu salah satu penyebabnya. Sebagai perbandingan, Tokopedia (setahu saya) dibangun dengan target market awal adalah para penjual-penjual di forum KafeGaul.com (tutup). Jadi isinya penjual-penjual yang memang sudah terbiasa dengan dunia online. Plus di Tokopedia penjual tidak perlu membayar untuk membuka toko.

Kembali ke Jualio. Jualio ini menurut saya malah versi mini Juale. Kalau di Juale penjual mendapatkan “website masing-masing”, dan domain masing-masing, di Jualio malah enggak. (Setahu saya sih gitu. Sekarang masih beta, jadi belum bisa kelihatan final nya). Bedanya, di Jualio produknya otomatis di post ke socmed para penjual.

Di Jualio penjual bisa upload informasi produk-produknya. Produknya bisa fisik, maupun digital. Semua transaksi jual beli terjadi di dalam Jualio. Pembayaran bisa via online payment, kartu kredit, maupun transfer bank. Jualio akan mengambil 5% dari produk fisik yang terjual, dan 30% dari produk digital yang terjual.

Target Market

Kalau Shopious sih sudah jelas target marketnya: mereka-mereka yang jualan di Instagram ini, umumnya sudah paham bagaimana cara berjualan via online. Maksudnya cara berjualan online ala Indonesia ya. Yang seringnya nanya-nanya mulu, nawar-nawar mulu, belinya kapan-kapan. Baru order 15 menit yang lalu, udah bolak-balik nge-buzz nanya barang udah dikirim atau belum. Ya gitu lah. Para sista di Instagram lebih pahamlah ini.

Dengan target market seperti itu, Shopious tidak perlu capek mengajari mereka bagaimana berjualan online –ini yang dulu dilakukan Juale.

Selain itu, dengan melepas transaksi di luar Shopious, mereka juga tidak perlu pusing dengan urusan ala-ala rekber (escrow), legalitas pengumpulan dana, refund, dll. Cuma, soal apakah target market ini bisa scale-up atau enggak, itu masih jadi pertanyaan. Kemudian, jika nanti trend nya berubah, para sista tidak lagi jualan di Instagram dan memilih ke marketplace seperti Tokopedia, bagaimana strategi Shopious berikutnya?

Kalau Jualio, saya enggak bisa membaca target marketnya. Selain masih belum dibuka tampilan finalnya, informasi yang saya dapatkan juga terbatas. Mudah-mudahan kali ini “kesalahan” target market di Juale tidak terulang di Jualio.

Dengan fitur otomatis upload ke socmed dari Jualio saya tidak melihat keunggulan signifikan-nya. Kalau socmed para penjual tersebut tidak banyak follower/fans/friends-nya, jadinya gak efektif. Tapi kalau socmednya sudah ramai, buat apa perlu Jualio? Karena ini malah merepotkan penjual. Upload harus ke Jualio, transaksi di Jualio, tawar-menawar (kemungkinan) juga harus di Jualio. Entahlah, saya masih kurang informasi untuk bisa membaca kemana arah Jualio sebenarnya.

Dan.., pertanyaan saya sama dengan soal Go-Jek kemarin. Apakah Shopious dan Jualio mengincar exit? Atau mau long term? 😉

MatahariMall.com – Bocoran Tampilan (Lagi), Engine dan Kisah Masa Lalunya

[MatahariMall.com – 22 Juni 2015, 23:50]

Beberapa waktu lalu sempat diberitakan tentang “bocoran” tampilan MatahariMall.com di Techinasia dan DailySocial. Sempat “live” sebentar, tapi link-link nya masih gak jalan. Lalu sebentar kemudian kembali ke halaman “coming soon”-nya.

Nah malam ini barusan saya iseng buka situsnya, dan keluarlah tampilan di atas. Saya sempat mengira MatahariMall.com sudah live. Tetapi ketika saya buka masing-masing link di atas, kembali ke halaman “coming soon” lagi. Ternyata beda di protokolnya. Kalau menggunakan HTTPS muncul halaman di atas, kalau hanya HTTP muncul page default nya.

Kalau diperhatikan dari screenshot di atas harusnya sih MatahariMall.com ini tampilan live saat ini ya. Karena jelas ada pesan “Selamat Berpuasa”, lalu banner gede iklan “Ramadhan Fashion Week”.

[MatahariMall.com – 22 Juni 2015, 23:50]

Kalau scroll ke bawah juga bisa dilihat ada promo Hot Deals Zenfone 2. Dan para penggemar gadget pasti paham kalau Zenfone 2 ini lagi hot-hotnya. Di toko-toko gadget populer setahu saya belum tersedia. Baru tersedia di gerai-gerai online saja. Jadi harusnya ini website yang sudah live dong ya. Hmm..

Engine MatahariMall.com

Nah, tentang engine di belakang MatahariMall.com ini sempat muncul beberapa spekulasi. Jauh-jauh hari saya dengar kabar kalau engine-nya pakai Magento, salah satu CMS E-Commerce yang populer, dan tersedia versi open-source nya. Engine ini berbasis Zend Framework (PHP). Tapi sewaktu Techinasia memberitakan tampilan MatahariMall.com yang “bocor” itu, ada yang melaporkan bahwa dia sempat melihat source code HTML nya. Dari source code nya itu terlihat bahwa engine yang dipakai adalah WordPress. Nah loh..

Ya, tidak masalah sebenarnya kalau WordPress dijadikan engine E-Commerce, banyak kok yang pakai, dan lancar-lancar aja. Tapi kalau untuk sekelas MatahariMall.com (yang di-backing-i oleh Lippo, bahkan dipegang langsung oleh trah Riyadi, ditambah dukungan dana setidaknya USD 500 juta), kayaknya gimana gitu ya kalau pakai WordPress. 😀

Nah, yang saya lihat di source code HTML-nya malam ini ternyata beda lagi. Dari pattern path nya sih sangat mirip Drupal. Sampai saya lihat ada satu line yang jelas-jelas menunjukkan mereka menggunakan CMS Drupal.

Tapi, kalau memantau dari lowongan MatahariMall.com yang beredar sih, mereka sedang mencari Senior PHP Developer dengan kualifikasi paham Magento, Zend, atau Symfony framework. Nah.. Jadi apa sebenarnya mereka memang maunya pake Magento, tapi resource SDM nya masih kurang? Atau gimana sih sebenernya?

Magento di Plasa.com

Tentang Magento ini saya perlu kasih catatan. Seingat saya, dulu, Plasa.com (waktu jadi e-commerce), sempat dibangun dengan engine custom. Frameworknya pun kalau tidak salah bikin sendiri *colek Toni ahh..*. Lalu, gegerlah berita Plasa.com mau revamp, dipimpin Shinta “BUBU” bersama Andi S. Boediman. Gelontorin dana sekian juta dollar. Dan ujung-ujungnya, engine yang sudah spesifik untuk Plasa.com itu (gosipnya) diganti dengan Magento. Daaaan.. tak lama kemudian kita sama-sama tahu Plasa.com gagal kembali.

Dulu Plasa gagal jadi email service, gagal jadi portal ala Yahoo, gagal jadi e-commerce jilid 1, gagal lagi jadi e-commerce jilid 2. Kemudian akhirnya aset milik Telkom Indonesia ini sepertinya pecah jadi 2 entiti. Plasa join dengan MSN menjadi semacam portal berita bernama PlasaMSN -belakangan berubah jadi UMSN, yang ini sepertinya lancar jaya. E-commerce nya join dengan eBay menjadi Blanja.com. Kurang heboh sih Blanja.com nya, tapi saya gak tahu detailnya gimana.

**hoiii temen-temen gue yang di UMSN dan Blanja.com, comment dong kalau baca ini. Haha.

Akankah LIPPO Mengulangi Sejarah Kelamnya?

Dulu Lippo pernah bikin LippoMall.com, ceritanya mau jadi Amazon.com kali yee. Kan se-jaman tuh. Di jaman itu jugalah gembar-gembor Astaga.com (yang walaupun pindah tangan beberapa kali, ternyata masih idup loh.., walaupun gak seheboh dulu). Nah saya kurang tahu persis kenapa, yang jelas akhirnya LippoMall.com waktu itu gagal total. Proyek bakar duit kalau kata orang. Dia bubar bersama dotcom bubble yang melanda US di sekitar tahun 2000-an.

Kali ini Lippo mengusung MatahariMall.com. Kalau kata John Riady sih, bedanya dia dengan pemain kakap lainnya yang sudah besar (Lazada.co.id, Blibli.com, Elevenia.co.id, dll), mereka punya beberapa keunggulan. Di antaranya:

  • Mereka lebih mengerti pasar Indonesia (karena sudah menjalan Matahari Dept. Store sejak kapan tahun kali ye)
  • Mereka punya katalog lebih lengkap (ya iyalah, selain Matahari Dept. Store, Lippo juga punya Hypermart)
  • Mereka mengusung konsep O2O (Online to Offline).

Nah poin 1 dan 2 sih bisa diperdebatkan lah ya. Lazada tanpa punya 1 dan 2 itu bisa gede kok. Nah soal nomor 3 ini yang saya malah jadi ragu.

Iya memang konsepnya menarik. Dengan O2O ini, kita bisa pesen barang online, terus ambil barangnya di Matahari terdekat. Saya kurang paham, apakah ini artinya barang yang bisa kita beli online tersebut hanyalah barang yang tersedia di gerai Matahari yang kita pilih? Atau kita bisa bebas beli barang apa saja, nanti pokoknya barang itu bakal bisa diambil di gerai Matahari yang kita tuju?

Kalau yang kedua yang benar, ini bukannya jadi problem logistik ya. Mereka akan kerepotan mengatur sistem logistik mereka. Ya.., bisa jadi ini sudah tertangani, toh dengan dana segede itu, plus “kabarnya” punya tim superstar di belakangnya, bukan tidak mungkin mereka mengeksekusinya dengan rapih.

Tapi tetep aja sih. Ini proyek ambisius. Sepertinya dari gembar-gembornya sampai target launching cuma sekitar 1 tahun ya? Atau saya kurang update? *padahal males googling..

Tim oke, dana oke, marketing oke, teknologi.. errr.. masih abu-abu, dan berujung pada eksekusi yang menurut saya juga masih abu-abu. Ya aku mah apalah, cuma denger gosip kanan kiri doang.

Oh iya, John Riady bilang kalau konsep O2O nya dia itu jadi andalan karena ini sudah terbukti sukses dijalankan oleh Walmart di US. Tapi dari hasil googling saya, Walmart sepertinya gak menjalankan O2O sih di US. Walmart memang menjalankan strategi O2O, tapi di China, bukan di US.

Mari kita lihat apakah LIPPO nantinya akan mengulangi sejarah kelamnya atau kali ini bakal sukses.

**Harusnya sih MatahariMall.com jadi launching tahun 2015 ini, tapi kalau ternyata MatahariMall.com gagal launching sampai akhir tahun 2015, anda saya kasih hadiah deh, voucher belanja di MatahariMall.com sebesar 50 ribu rupiah. Lumayan kan? Masa berlaku vouchernya masih panjang kok, sampai Desember 2015.

Jangan Melakukan Pembayaran Online via Proxy

[Foto: ics.ie]

Beberapa waktu lalu, akun hosting saya di-suspend karena masalah pembayaran menggunakan kartu kredit. Waktu itu saya menggunakan proxy di browser saya. Kenapa pakai proxy? Karena di pekerjaan saya, wajib menggunakan proxy. Kalau gak pakai proxy, gak bisa terkoneksi ke internet. Proxy nya sendiri ada 2, ada Indonesia dan luar negri. Untuk beberapa hal saya menggunakan yang luar negri. Kedua proxy ini resmi dari perusahaan. Jadi bukan web-proxy gratisan yang ketemu dari internet.

Nah ini yang jadi biang masalah. Sepertinya beberapa sistem pembayaran online di luar negri menggunakan metode yang sama. Mereka akan melakukan cek silang antara lokasi IP address pelaku transaksi dan informasi alamat di kartu kredit. Jika lokasinya berbeda, maka transaksi ini akan dicurigai.

Tadi malam saya mengalami kejadian yang sama. Pagi saya eksperimen membuat Facebook Ads. Setup pembayaran dengan kartu kredit. Selesai. Tiba-tiba malamnya saya dapat notifikasi jika penayangan iklannya di-suspend. Akun saya di Ads Manager pun di suspend. Lagi-lagi, mereka curiga karena katanya ada “unusual activity”. Dalam pertanyaan yang diajukan beberapa menyebutkan soal lokasi saya saat transaksi.

Saya pernah membeli sebuah barang dari eBay. Transaksi dengan kartu kredit juga. Tetapi saat itu kebetulan saya sedang menggunakan proxy lokal. Tidak ada masalah. Semua lancar, dan barang pun dikirim dari Hongkong, saya terima di Indonesia.

Ini membuat saya berkesimpulan, jangan-jangan memang sebagian besar sistem pembayaran dari situs luar negri itu tidak memperbolehkan menggunakan proxy saat bertransaksi. Apalagi jika proxy nya beda negara. Sepertinya mereka akan menganggap lokasi transaksi dan alamat kita sebenarnya berbeda jauh. Akhirnya dicurigai.

Tapi ini agak aneh juga. Jika benar yang dipermasalahkan adalah lokasinya, bagaimana jika saya transaksi pembayaran online saat saya memang sedang di luar negri. Apakah bakal dicurigai juga?