[Ilustrasi: motivatinggiraffe.com]

Saya sepaham dengan Paul Graham, dalam membangun startup itu founder punya faktor kuncian lebih signifikan dibandingkan ide startup itu sendiri.

Ini bukan soal foundernya lulusan kampus ternama dari Amerika, pernah bekerja di perusahaan konsultan manajemen kelas dunia, atau pernah bekerja di Silicon Valley. Tapi kombinasi dari semuanya. Bisa soal faktor tadi maupun soal karakter, intuisi, koneksi yang dimiliki, pengalaman, dll sampai soal latar belakang keluarga.

**

Sekitar setahun lalu seorang teman pernah mengenalkan seseorang kepada saya. Orang ini mempunyai ide startup yang menarik. Bukan ide baru sih sebenarnya, di Singapore, China dan Australia bisnis ini terbukti sukses, hanya saja di Indonesia belum ada yang memulai. Saya bahkan tidak ada tahu ada bisnis seperti ini. (Maaf, tidak bisa saya sebutkan apa nama startup dan detail bisnisnya.)

Saya sebenarnya tidak ada urusan dengan startup ini. Diskusi ini adalah antara si founder dan teman saya tadi. Mereka sedang menjajaki kemungkinan kerjasama. Saya ikut diskusi hanya untuk brainstorming, second opinion dan men-challenge ide-ide yang ada.

Keraguan

Singkatnya, setelah meeting itu selesai, saya mengatakan kepada teman saya, “Jujur aja bro, gue sih gak yakin bakal jalan startupnya. Bukan soal ide-nya sih, tapi momennya terlalu cepat untuk di Indonesia. Selain itu dia gak punya background technical dan gak punya orang technical, sementara startupnya sangat related sama technical. Lagian kayaknya orangnya kurang fokus ya. Sepertinya bisnis keluarganya masih jadi fokus utama dia.”

Tidak adil sih memang mengambil kesimpulan seperti itu, karena saya cuma pernah ketemu sekali saja. Namun pembenaran saya waktu itu, toh biasanya founder startup hanya dapat kesempatan satu kali untuk membuat impresi pada calon investor.

Kenyataan

Fast-forward ke akhir 2015, ternyata startupnya berjalan juga. Dia mendapatkan pendanaan dari VC yang cukup populer di Indonesia. Kemudian dia berhasil mengukuhkan kerjasama startup-nya dengan pebisnis besar lainnya.

Lebih hebatnya, di awal 2016, saya mendengar startupnya hendak diakusisi oleh salah satu grup konglomerat Indonesia dengan angka yang cukup luar biasa. Namun investornya tidak memberikan lampu hijau. Menurut investornya, setelah valuasinya naik paling tidak 3000 kali lipat, barulah bisa dijual (exit). Saya enggak tahu akhirnya jadi diakuisi atau enggak.

Faktor X

Jujur saja, saya kaget. Ternyata saya terlalu meng-underestimate si foundernya. Mungkin dia memiliki faktor X yang tidak bisa saya lihat waktu itu. Atau (lebih mungkin) memang karena saya juga tidak (belum) mempunyai intuisi yang bagus untuk menilai karakter founder.

Intinya, kalau kalian sedang membangun sesuatu, entah itu startup, yayasan, komunitas, dll, jangan langsung down ketika ada yang mengatakan ide kalian itu tidak bakal jalan. Siapa tahu anda sama seperti founder yang saya ceritakan di atas. Atau siapa tahu yang memberi anda komentar itu cuma orang seperti saya, atau.. emm.. bisa jadi memang beneran perlu dipertimbangkan lagi sih idenya. 😀