Email Notification
Memberikan notifikasi (penting maupun tak terlalu penting) kepada pengguna sebuah sistem selalu tricky. Dahulu kala pemberitahuan ini diberikan via email saja. Pengingat pergantian password, akses tidak wajar, transaksi baru, dsb semua dilakukan via email saja.
Perancang sistem (dulu istilahnya system analyst, kalo bahasa sekarang “product manager”), biasanya memilih opsi ini karena cenderung gratis.
Hasilnya apa? Email kita dipenuhi dengan berbagai notifikasi (bank atau layanan finansial, ecommerce, social media, dsb). Ini masih ditumpuk dengan iklan-iklan. Ujung-ujungnya user mengabaikan isi email. Seringkali informasi notifikasi penting via email terlewatkan karena saking banyaknya kiriman notifikasi via email ini.
Email masih saja di-abuse hingga hari ini. Tidak heran GMail secara otomatis mengelompokkan email-email seperti ini.
Push Notification
Di sekitar era 2010-an awal ketika perangkat ponsel pintar (smartphone) mulai menjamur, menyusul segera mobile application (Android & iOS). Tiap – tiap aplikasi ini pun mengirimkan notifikasi. Selain mengirimkan notifikasi via email, tiap – tiap aplikasi ini pun mengirimkan ke channel baru.. push notification, yang tadinya tidak ada.
Sangat dimengerti kalau push notification ini menjadi pilihan. Selain karena cenderung gratis (seperti halnya email), informasinya juga langsung sampai di perangkat pengguna.
Namun, sama seperti halnya email tadi. Saking banyaknya push notification, akhirnya banyak notifikasi dari aplikasi yang diabaikan user. Saya mengenal beberapa orang yang benar-benar hampir tidak pernah melihat notifikasi di ponselnya. Mereka hanya tahu notifikasi ketika sedang membuka aplikasinya saja. Tapi push notification di bagian atas layar ponsel itu tidak pernah dibuka. Bertumpuk saja bisa sampai puluhan dalam sehari.
Saya pribadi cukup “niat” urusan push notification. Saya mengatur ponsel saya (Android) untuk memperbolehkan beberapa aplikasi saja yang bisa mengirimkan push notification. Jadi push notification yang masuk lebih minimal, dan bisa dapat perhatian.
WhatsApp Notification
WhatsApp seperti kita ketahui sangat populer di dunia, terlebih di Indonesia. Bisa dibilang inilah jalur komunikasi paling utama di Indonesia (tebak-tebakan saya sih). Tak cuma chatting, telpon pun sudah jamak dilakukan via WhatsApp call.
Namun, brerbeda dengan Email dan Push Notifikasi yang lalu lintasnya tidak diatur (siapa pun bisa mengirimkan ke siapapun kapan saja), WhatsApp lalu lintasnya tersentralisasi oleh di platform tersebut. Ini dengan konteks pengirimnya adalah akun resmi ya. Sebagai contoh, email resmi dari Gojek bebas mengirimkan email ke siapapun, kapanpun dan isinya apapun.
WhatsApp secara resmi tidak memperbolehkan model yang sama untuk pengiriman pesan secara masif. Tentunya ini karena dibatasi pengiriman komunikasi via WhatsApp tidak memiliki standar yang terbuka (layaknya email). Untuk sebuah akun resmi bisnis mengirimkan pesan ke pengguna WhatsApp, harus melalui WhatsApp for Business, dan ini tidak murah. Lumayan murah. Kalau tidak salah berkisar belasan juta Rupiah per bulan (paket paling rendah).
Tidak hanya dibatasi pengirimannya, isinya pun dibatasi oleh WhatsApp. Setiap pesan yg dikirimkan secara masif template isinya harus disetujui terlebih dahulu oleh WhatsApp. Kecuali ketika penerima pesan sudah berinteraksi (menjawab / merespon) pesan tersebut.
Nah, dengan terkontrolnya lalu lintas komunikasi di WhatsApp, sepenglihatan saya nih.., notifikasi yang dikirimkan via WhatsApp lebih mendapatkan perhatian dari pengguna. Jauh lebih baik daripada email setidaknya, pun tetap lebih baik juga jika dibandingan dengan SMS.
SMS yang Tak Bernasib Sama
Nah, walaupun SMS juga berbayar untuk setiap pengiriman pesannya, kenapa SMS tidak mendapatkan atensi sebaik WhatsApp?
Saya rasa 3 hal ini penyebabnya:
- Secara umum masyarakat tidak lagi saling berkirim pesan melalui SMS. Mayoritas sudah berpindah ke WhatsApp.
- Format pesan SMS itu bebas. Sehingga korporasi yang sudah memiliki kontrak untuk pengiriman SMS akan berusaha memaksimalkan penggunaannya.
- Karena poin no. 2, banyak sekali bisnis yang berusaha “memaksimalkan” (abuse) peluang ini. Mereka menggunakan layanan SMS masking general untuk mengirimkan pesan apapun. Jadi mirip-mirip seperti email.
Jadi Pilih yang Mana?
Kalau disuruh pilih hanya salah satu di antara opsi di atas, saya lebih memilih WhatsApp for Business. Kemungkinan dibaca pengguna jauh lebih tinggi. Tapi ini tentunya dengan asumsi budgetnya juga tersedia ya. Banyak sekali korporasi yang tidak rela mengeluarkan biaya untuk ini.
Jangan lupa perlu pertimbangkan ini juga:
- Apakah nomor ponsel yang terdaftar di platform semua memiliki WhatsApp yang aktif? Atau paling tidak ketahui berapa % yang aktif?
- Apakah nomor ponsel pengguna sama dengan nomor WhatsApp? Ini memang anekdot, tapi saya pribadi banyak sekali menemukan orang yang punya nomor ponsel (untuk telpon dan SMS) yang berbeda dengan nomor WhatsApp nya.
- Bagaimana mengantisipasi pengguna yang berganti-ganti nomor ponsel?
Ini juga dengan catatan budget harus tersedia. Kalau pengiriman SMS biasanya sistem kuota (bayar Rp XXX utk kuota SMS per bulan sebanyak YYY). Sementara untuk WhatsApp for Business, ada biaya tetap per bulan untuk infrastrukturnya. Di luar biaya pengiriman pesan.
Jika budget menjadi halangan, pilihan Push Notification jadi masuk akal, tapi tentu perlu banyak pengoptimalan. Bagaimana pesan yang yang tepat, kapan dikirimkan, format seperti apa, dll. Walaupun ini tidak akan ada artinya jika menargetkan para pengguna yang sudah jengah dengan Push Notification dan tidak pernah membacanya sama sekali.