Author: Okto Silaban

Saling Berbagi Perusahaan Teknologi di Indonesia

[Foto: adders | flickr.com]

Saya pernah tahu ada acara-acara sharing session tentang topik spesifik yang disponsori oleh perusahan “teknologi” di Indonesia. Misal topik tentang NodeJS, PHP atau Python misalnya. Tetapi saya jarang mendengar sharing session tentang bagaimana teknologi di perusahaan itu sendiri. Baik tentang arsitektur teknologinya, cara mengatur orang dan fungsi-fungsinya, atau perangkat lunak/keras apa saja yang dipakai.

Kalau di luar negri ini seperti sudah jadi kegiatan rutin. Di YouTube banyak video-videonya. Jaman saya masih senang otak-atik dunia pemrograman, saya sering lihat video-video ini.

Blibli.com salah satu contoh yang baik. Minggu lalu mereka mengadakan acara sharing session. “Buka-bukaan” tentang teknologi yang digunakan mereka. Silakan baca detailnya di LABANA.ID.

Dengan acara seperti ini, efeknya bagus juga bagi para pelaku industri ini. Selain mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, paling tidak mereka bisa mendapatkan informasi untuk peluang karir berikutnya. 😀

Nilai Akuisisi Startup Media di Indonesia

Rangkuman akuisisi yang saya ingat:

  • Detikcom (berdiri tahun 1999) dulu dibeli Trans Corp dengan harga sekitar Rp 500 M.
  • Kaskus (berdiri tahun 1999) gosipnya dibeli GDP (Djarum Group) dengan harga sekitar Rp 500 – 600 M.
  • KapanLagi (berdiri tahun 2003), valuasinya (gosip juga) sekitar Rp 1 T ketika sebagian sahamnya dibeli MediaCorp.
  • Hipwee (berdiri tahun 2014), nilai akuisisinya oleh Migmee adalah Rp 5,4 M. Situs ini sering disebut-sebut sebagai BuzzFeed nya Indonesia.

Semua contoh di atas adalah startup yang kriterianya didirikan di Indonesia, dan target pasarnya juga Indonesia. Hanya saja mereka masuk dalam kategori industri media online. Khusus 3 teratas, mereka didirikan di sekitar waktu tahun 1999 – 2003, sekitar 13 tahun lalu.

Sekarang lihat startup dengan dengan kriteria yang sama, tetapi bukan media online, alias mereka yang disebut “startup teknologi”.

Tokopedia (didirikan tahun 2009, 7 tahun lalu) – Pertama didirikan digelontorin dana Rp 2,4 M untuk 80% saham. Artinya valuasinya waktu baru berdiri sudah Rp 3 M. Sekarang? Dengan suntikan dana baru hampir Rp 2T, tentunya valuasinya sudah di angka triliunan Rupiah.

Go-Jek (berdiri tahun 2010, tapi baru aktif kembali sekitar tahun 2012 akhir) – Dikabarkan mendapatkan investasi ratusan juta dollar oleh Bloomberg.

Kesimpulannya, startup media di Indonesia memang angkanya gak bombastis kayaknya ya.

Hati-Hati ROM “Palsu” Xiaomi Redmi Note 3

Sewaktu saya membeli Xiaomi Redmi Note 3, importir besar seperti Era Jaya belum menjual produk ini. Jadi yang saya beli di pusat perbelanjaan itu barang palsu? Ya.., enggak juga. Kalau kata orang-orang ini masih “versi distributor”, bukan yang garansi resmi dari Xiaomi. Walaupun kalau kita nanya di toko-toko yang menjual produk dari “distributor” ini, pasti dibilang “Ini resmi kok. Ada service center resminya.”

Waktu itu saya beli Redmi Note 3 yang RAM 2GB. Prosesornya Mediatek ya, bukan yang Qualcomm. Karena ternyata ada 2 jenis. Beda prosesor.

Salah satu yang membuat saya agak curiga dengan ponsel ini adalah beberapa aplikasinya tidak bisa berjalan. Misalnya fitur Themes, fitur Fonts, dll. Pokoknya yang butuh koneksi dengan Xiaomi lah. Selain itu cek updatenya juga gagal.

Kalau tidak salah versi ROM yang saya pakai waktu itu (kalau tidak salah) 7.2.16. Saya lihat di webnya MIUI, versi terbaru ROM nya adalah 7.2.30. Saya bingung kenapa saya coba update dengan aplikasi bawaannya Updater, kok gagal?

Akhirnya saya download saya file ROM-nya. Lumayan gede, sekitar 800-an MB. Lalu saya coba install dari menu Updater dengan menggunakan “Choose Package”. Tapi ROM nya tidak dikenali, gagal juga. Selalu keluar error “Can’t verify update“. Mencurigakan.

Baru setelah itu saya baca-baca di forum MIUI, ternyata ada beberapa laporan yang bilang kalau ROM versi 7.2.16 itu masih versi abal-abal dari distributor, bukan resmi dari Xiaomi. Ooo.., sepertinya ini yang membuat banyak fitur yang saya coba gunakan gagal.

Akhirnya saya instal ROM versi resmi dari MIUI nya. Caranya agak ribet sih. Apalagi saya tidak memiliki komputer dengan sistem operasi minimal Windows 7. Kalau pakai Mac OS? Hmmm… Lupain deh.

Menggunakan laptop seorang teman, akhirnya saya berhasil melakukan “flash” ulang ROM Redmi Note 3 saya dengan versi resmi dari Xiaomi. Versinya 7.2.3.0.

Tampaknya memang ROM sebelumnya memang abal-abal. Setelah menggunakan ROM resmi ini, saya merasa keseluruhan aplikasi dan fitur di ponsel saya menjadi lebih “smooth”. Entahlah, kalau cuma persepsi aja ya. Yang jelas fitur Theme, Font, Updater, dll di sini sudah berjalan normal. Apalagi belakangan saya pun bisa upgrade lagi ke ROM terbaru dari Xiaomi, versi 7.2.5.0 secara OTA (Over the Air).

Kalian gimana? Pake Redmi Note 3 yang versi ROM abal-abal, atau sudah yang resmi dari MIUI?

Yahoo Once Upon a Time

Nemu poster ini dari tumpukan arsip berkas. Ini kalau tidak salah dari Yahoo OpenHack di Jakarta tahun 2009.

Berapa banyak dari services ini yang masih hidup ya?

image

Startup Kecoa dari Indonesia

[Foto: stevebethell | flickr.com]

Kebanyakan startup lokal (yang baru berdiri) yang saya baca atau temui masih versi idealis. Jadi startupnya dibangun “mungkin” setelah banyak menelan cerita di media yang kurang lebih mengatakan: “Startup X itu awalnya cuma produk iseng. Terus dikembangkan aja pokoknya. Marketnya belum ada siih bukan masalah, justru dia yang bikin marketnya. Urusan ntar duitnya dari mana, belakangan. Yang penting growth-nya bagus. Growth hacking, bro!”

Seringkali mereka lupa, startup itu (seharusnya) adalah perusahaan. Bukan proyek akhir pekan, iseng-iseng berhadiah, atau sekadar mengisi waktu luang -kaya blog saya ini.

Tapi di Echelon 2016 kemarin, saya ketemu 2 startup yang berbeda. Konsepnya jelas, tim pendirinya juga kompeten, dan ini yang paling menarik, bisnisnya memang sudah jalan dan memiliki penghasilan. Ini kalau kata saya startup dengan paket lengkap. Mereka adalah NATAProperty, dan InsanMedika. (InsanMedika bisnis offline nya sudah jalan lama sih sebenarnya).

Di Sillicon Valley kan fokus investor sudah mulai bergeser dari “startup unicorn” ke “startup kecoa”. Startup kecoa itu artinya: realistis, tidak perlu besar-besar banget growthnya, tapi sustain terus dan bisa bertahan melewati berbagai situasi ekonomi. Kaya kecoa beneran, habis perang nuklir pun kemungkinan masih bisa hidup. Bahkan kepalanya dipotong aja masih bisa hidup lama. Dan kedua startup tadi masuk kriteria startup kecoa ini menurut saya.

Kalian mau jadi yang mana? Kecoa atau Unicorn?

Mampu Bayar Pun Belum Tentu Bisa Konsultasi dengan Dokter Terkenal

[Foto: aeu04117 | flickr.com]

Suatu waktu saya pernah diberi saran yang bertolak belakang dari dua dokter spesialis di sebuah rumah sakit terkenal di daerah Jakarta Selatan. Anehnya, kedua dokter ini ruangannya hanya bersebelahan. Dokter yang pertama langsung suruh operasi, lengkap dengan penjelasan biaya-biaya dan opsi paket yang tersedia. Sementara dokter yang kedua bilang tidak apa- apa, rileks aja. Bahkan cuma dikasih obat beberapa butir saja.

Tentu saja saya tidak datang ke kedua dokter itu secara bersamaan. Saya datang ke dokter kedua untuk mencari pendapat kedua (second opinion) setelah dokter pertama tanpa blabliblu dengan super excited bilang mau memberikan tindakan operasi. Read More

Sotoy Beli Midi Controller

[Foto: Michael Delgado | youtube.com]

Ini cerita lama sebenarnya. Di sekitar tahun 2012 saya cukup aktif ngoprek musik digital. Membuat musik ala-ala EDM, atau kadang rekaman ala kadarnya lalu ditambahkan instrumen musik digital. Dari awalnya coba-coba, belakangan setelah melihat postingan dari @nartzco, saya ikut-ikutan membeli keyboard midi controller M-Audio Keystudio 49.

Saya ingat momen ketika membeli midi controller di toko alat musik itu. Setelah saya konfirmasi mau beli, pegawai tokonya segera memasangkan midi controller nya ke komputer yang ada di sana. Lalu menjalankan software Pro Tools. Saya bengong. Read More

Teknologi di Indonesia di Mata Ahli Ekonomi

[Foto: superamit | flickr.com]

Mungkin kalian juga sudah baca tulisan Rhenald Kasali tentang “Sharing Economy”? Tulisan ini diforward dari milis ke milis, Facebook, group WhatsApp, dll. Cukup menggugah. Karena memang di tahun 2014 pun, ulasan Wired* tentang “Sharing Economy” juga cukup menggugah.

*Tulisan Wired itu menekankan bahwa Sharing Economy itu maju karena dasarnya adalah rasa saling percaya (trust). Tapi kemudian dibantah oleh NY Magz, yang menyatakan sebenarnya dasarnya adalah terdesak kebutuhan ekonomi. It’s all about money, not trust.

Read More

Membuat Musik Digital Menggunakan Software Open Source

[Foto: mixtribe | flickr.com]

Semasa kuliah, perangkat lunak open source seputar pengolah musik yang saya tahu hanya Audacity dan LMMS. Kalau di Windows sempat kenal Fruity Loops (sekarang berganti nama jadi FL Studio), tapi sebentar saja. Jadi saya tidak tahu banyak. Bahkan cenderung bingung dengan konsepnya, walaupun banyak yang bilang sangat mudah.

Circa 2009

Setelah di Jakarta, saya kembali ngoprek membuat musik di laptop menggunakan Linux. Perangkat lunak yang saya gunakan:

  • Seq24 (sequencer): Untuk merekam part-part midi.
  • ZynAddSubFX: Synthesizer. Kalau di dunia VST semacam Sylenth1 atau Nexus lah.
  • Hydrogen: Drum machine
  • QjackCtl (JACK audio connection Kit): Semua tool tadi disentralisasi di sini, jadi bisa dimulai secara bersamaan.
  • Audacity: Semacam Photoshop tapi buat audio post-processing (record, cut, multitrack, change pitch / tempo, convert, dll). Sampai sekarang saya masih sering pakai, baik di Windows maupun Mac.

(Sayang saya tidak ketemu screenshot yang sempat saya ambil waktu itu). Read More

6 Pelajaran dari Transfer Domain Antar Registrar

[Foto: pgs| flickr.com]

Baru-baru ini saya mentransfer domain saya ke registrar lain. Diperpanjang di sana untuk 10 tahun, lalu saya transfer balik ke registrar saya.

*Ngapain sih domainnya ditranfer ke registrar lain cuma untuk perpanjang 10 tahun?

Karena di registrar itu ada voucher yang gak kepakai.

Tetapi setelah berhasil diperpanjang 10 tahun, ternyata domain itu tidak bisa ditransfer balik begitu saja. Saya baru tahu kalau dalam transfer domain antar registrar itu ada yang namanya “Initial 60 Days“. Jadi sebuah domain tidak bisa ditransfer jika baru diregister atau diperpanjang dalam 60 hari terakhir.

Oh iya, ini beberapa hal yang perlu diketahui untuk transfer domain antar registrar:

  1. Whois Privacy (Protected Whois) harus dimatikan.
  2. Pastikan alamat kontak email di Whois domain tersebut masih aktif dan bisa diakses. Karena konfirmasi akan dilakukan ke alamat email tersebut.
  3. Unlock domain tersebut (biasanya secara default domain itu di-lock agar tidak bisa ditransfer).
  4. Pastikan anda tahu Auth Code / EPP Key domain tersebut. Kode ini akan diminta di registrar yang baru.
  5. Setelah proses transfer, akan ada proses konfirmasi ke email pemilik akun sebelumnya. Ini bisa memakan waktu beberapa hari. Dalam kasus saya kemarin, butuh waktu hampir seminggu.
  6. Selama proses transfer, konfigurasi Nameserver masih menggunakan registrar lama.

Perlu diingat, tentu saja akan tetap ada resiko transfernya gagal.

 

Habis Reset Android atau Ganti Ponsel Baru, Begini Cara Mindahin WhatsApp-nya

[Foto: santaolalla | flickr.com]

Setelah reset Android atau ganti ke ponsel Android baru, biasanya pasti mulai install-install lagi kan? Umumnya salah aplikasi yang wajib di-instal itu WhatsApp. Tapi seringkali, habis install terus baru inget, laah.. kemana percakapan (chat) yang kemarin ya? Kok jadi kosong semua gini. Padahal kadangkala ada saja beberapa pesan penting di dalamnya yang masih kita perlukan. Entah itu pesan teks, gambar ataupun video.

Backup WhatsApp ke Google Drive? Bisa sih.. Tapi kalau isinya udah banyak (video, gambar, teks) dan udah lama, besarnya bisa ratusan MB. Lumayan kan kalau harus ngupload segitu langsung dari ponsel ke internet?

Sebenarnya masih ada cara lainnya, dan ini gak perlu lewat internet, yang penting prasyarat 3 ini ada semua:

  1. Ponselnya (iya lah ya..)
  2. Kabel data
  3. Komputer (bisa Windows, Mac, ataupun Linux)

Caranya?

Singkatnya.

  1. Backup Chat di WhatsApp, hapus file yang tidak perlu, folder WhatsApp nya di-zip, terus pindahin ke komputer.
  2. File zip dari folder WhatsApp tadi di copy balik ke ponsel baru ataupun di ponsel yang baru di-reset tadi. Ekstrak. Pastikan struktur foldernya benar (PhoneStorage – WhatsApp – file2 lainnya), bukan seperti ini : PhoneStorage – WhatsApp – WhatsApp – file2 lainnya.
  3. Install WhatsApp. Nanti file backup ini akan dikenali otomatis.
  4. Restore.
  5. Kelar deh.

Kurang detail? Nyoh, baca aja di Labana.ID.

Xiaomi Redmi Note 3 – Tidak Perlu Earphone atau Headset untuk Mendengarkan Radio FM

Beberapa alasan sederhana membuat saya pindah dari Asus Zenfone 2 ke Xiaomi Redmi Note 3. Tentunya alasan selain 7x bolak-balik ke service center Asus sih.

Belakangan saya menemukan alasan lain kenapa saya menyukai ponsel ini. Ternyata tak saya tidak perlu mencolokkan headset/earphone ke ponsel ini untuk mendengarkan radio FM. (Bukan radio internet loh ya). Bukan fitur penting sih, tapi kadangkala saya ada di situasi di mana headset, earphone ataupun colokan speaker dengan jack 3.5mm susah dijangkau. Di saat seperti ini fitur ini sangat berguna.

Saya tidak tahu kalau fitur ini ada atau tidak di ponsel lain, tetapi pengalaman saya beberapa kali menggunakan Android, baru kali ini yang nemu begini. Bahkan di masa-masa jaya Nokia, semua yang saya temui harus menggunakan headset baru bisa dengerin radio FM nya.

Cuma emang tampilannya super polos gitu sih aplikasinya. Aselik.