Tepat 2 tahun yang lalu (bahkan jamnya pun hampir sama persis saat saya menuliskan ini : 5.50), Jogja diguncang gempa hebat. Lebih dari 5.000 orang meninggal dunia. Tragedi yang sangat memilukan. Saya yang sedang numpang hidup di Jogja juga merasakan hebatnya gempa ini.
27 Mei 2006, pukul 5.50, saya yang tertidur di lantai, dengan hanya memakai celana pendek butut berwarna biru terkaget – kaget karena lantai dimana saya tidur berguncang hebat. Saya berlari keluar kamar kost, dan disana hampir semua penghuni (dan pemilik kost) sudah berdiri ketakutan. Karena saat itu Gunung Merapi sedang aktif, sontak semua orang melihat ke utara. Dan benar, Gunung Merapi sudah mengeluarkan asap cukup banyak.
Hampir semua operator GSM saat itu tidak bisa berfungsi, kecuali Indosat (salut deh buat Indosat) *duhh.. sempet – sempetnya promo..*. Dengan HP butut C650 saya buka OperaMini dan mengakses Detik.com. Sudah ada berita tentang terjadinya gempa ini, tetapi belum jelas sumber gempanya. Selang 20-an menit, saya refresh kembali OperaMini. Saya dan beberapa teman kost pun kaget karena disebutkan gempa tersebut justru berasal dari laut (yang akhirnya diketahui justru terjadi di kab. Bantul *darat* bukan di laut).
Sekitar 10 menit kemudian Bapak Kos mengantar anaknya yang paling kecil sekolah ke SD Ungaran I di daerah KotaBaru. Ketika pulang ke kos beliau bilang bahwa di halaman RS. Sardjito (yang letaknya bersebelahan dengan Fakultas Teknik UGM), penuh dengan orang – orang yang luka. Saya setengah tidak percaya. Kok bisa penuh dengan orang luka? Atau bersamaan dengan gempa tersebut terjadi kecelakaan hebat di jalan raya?
Hari itu saya ada jadwal seminar Prospek Kerja Dunia IT di MIPA IlmuKomputer UGM, yang letaknya berada di sisi Barat RS. Sardjito. Saya pun tetap berangkat. Dan tepat sebelum belok masuk ke kampus MIPA, di depan saya, di kanan saya, dan dibeberapa ruas jalan, banyak mobil pick up dan truk. Yang bikin saya merinding karena di dalam baknya isinya bukan barang – barang dagangan, tetapi orang – orang. Dan di dasar bak terlihat darah yang menggenang. Di halaman RS Sardjito pun telah penuh dengan korban gempa yang dibaringkan begitu saja di halaman parkir, karena ruangan RS sudah penuh. Barulah saya sadar betapa parahnya gempa ini.
Sekitar pukul 8.00, saya dan beberapa orang lainnya duduk di depan ruang Auditorium kampus MIPA UGM sambil menunggu kepastian jadi tidaknya seminar tersebut dilaksanakan. Tiba – tiba kami melihat banyak orang berlarian di Jalan Kaliurang yang posisinya membelah kampus UGM. Mereka yang menggunakan kendaraan bermotor memacu gasnya dengan sangat kencang.
Ternyata ada orang / sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab menyebarkan isu telah terjadi Tsunami di laut selatan, dan air saat itu sudah sampai di Malioboro… Walaupun mungkin saja terjadi, tetapi saya dan beberapa orang lainnya masih berpikir logis, rasanya tidak mungkin air bisa mencapai kota Jogja. Sisi selatan Jogja itu dipenuhi bukit – bukit yang tingginya lumayan, jadi selain bisa menghalangi masuknya air, ia juga bisa meredam derasnya air laut jika memang terjadi tsunami.
Masih belum selesai, ternyata di sisi Utara Jogja (dimana Gunung Merapi berada), ternyata ada juga yang menyebarkan isu turunnya awan panas dari Gunung Merapi. Jadilah mereka yang termakan isu tsunami menyelamatkan diri ke Utara, sementara yang termakan isu awan panas menyelamatkan diri ke Selatan. Bertemulah mereka disepanjang jalan Kaliurang, sehingga sempat mengakibatkan beberapa kecelakaan terjadi.
dst..
Maaf, tidak bisa saya lanjutkan. Pengalaman di atas hanya sebagai refleksi sesaat agar kita selalu ingat bencana bisa kapan saja terjadi, dan jangan mudah terpicu isu tidak jelas ketika kondisi semua orang panik. Banyak diantara mereka yang termakan isu itu adalah mahasiswa juga (yang notabenen disebut kaum terpelajar), tak peduli semester berapa. Tingkat pendidikan seseorang pada kondisi panik seperti ini hampir tidak ada pengaruhnya, kondisi mental lebih berperan.
Jogja bangkit.. !
*update : judul (makasih Zam.. :D)