Inilah yang sering membuat saya sulit untuk tidak mencintai Jogja. Budaya setempat dan tingkat partisipasi masyarkat lokal terhadap kegiatan masyarakat masih terbilang tinggi. Hari Minggu (9 Agustus) lalu di daerah Pogung (dusun Pogung Kidul, Dalangan, Rejo, dll) diadakan pawai 17-an (atau ‘pawai pitulasan’ dalam istilah Jawanya). *Pogung ini adalah daerah yang didominasi kos – kosan mahasiwa Fak. Teknik UGM.
Seperti pawai tahun – tahun sebelumnya kreatifitas warga ini tidak pernah berkurang.. Tak tanggung – tanggung, tugu Jogja pun digotong.. Ha..ha… (itu cuma replikanya.. *tapi mirip banget lho).
Pawai yang mengitari dusun Pogung Kidul, Pogung Dalangan, Pogung Rejo, dll ini pesertanya dibagi menjadi beberapa berbagai kelompok, berdasarkan RT. Tapi secara umum tema yang diangkat masing – masing kelompok tetap sama : Kemerdekaan, Budaya, dan Lingkungan (Global Warming Awareness)
Gak tua, gak muda.., gak cowok gak cewek.. semuanya ikutan dalam rombongan pawai. Barisan wanita – wanita cantik ini (saya lupa dari RT berapa) cukup unik, karena cara mereka berjalan tidak umum. Barisan *prajurit* pria (di depan) maupun barisan *pemanah* wanita berjalan sesuai irama alat musik gamelan yang dimainkan. Dengan ritme yang cukup pelan, dan ada gerakan khususnya. *duh.. susah mendeskripsikannya… 🙁 Pokoknya suasananya keliatan Kraton banget gitu deh.. 😀
*kalau dah acara gini, baru banyak keliatan gadis – gadis cantik asli Pogung.. 😀
Lihat gambar di atas? 😀 Gadis kecil ini masuk dalam salah satu barisan yang bertema Global Warming Awareness. Saya kurang nangkep apa maksudnya gadis – gadis kecil itu dimasukkan dalam kotak kardus.. Tapi yang jelas jadinya lucu lucu gitu… Ha….ha…
Persiapan pawai ini tidak main – main. Dari beberapa hari sebelumnya seluruh daerah Pogung sudah keliatan sibuk. Orang orang tua yang rapat (kayaknya masalah dana ye.. ), anak – anak muda yang membuat replika hewan, globe, burung garuda, gajah, dll. Dan selama beberapa hari sebelum pawai tiap malam hampir selalu terdengar alunan gamelan, tabuhan gendang atau dentuman bass drum dari peserta pawai yang sedang berlatih. Kadangkala alat yang digunakan pun seadanya : gentong air dan galon Aqua menjadi properti yang tidak sulit ditemukan saat mereka latihan.
Partisipasi Anak Anak Kost
Jujur, saya sendiri tidak tahu, apakah ada diantara peserta – peserta yang merupakan anak kos. Saya pribadi memang tidak pernah diajak ikut secara eksplisit. Tapi saya rasa kalau para anak kost diajakin gabung jadi peserta pawai bersama warga lokal, bakal pada males2-an deh.. Ya mungkin karena canggung juga. Tapi mungkin kalau dibikin barisan “Anak Kost RT X” gitu bakal seru ya? Tapi ntar jadi gak membaur dengan warga lokal dong? Hmm…
Catatan :
– Foto – foto di atas diambil dengan ponsel Sony Ericsson G502. Lokasi pengambilan gambar adalah depan burjo Tanjung Sari.. (Anak – anak Teknik yang kuliah sekitar tahun 98 – sekarang pasti tidak asing dengan tempat ini.. )
ya ampuuunn… itu si anak kayaknya jadi pohon, to.
eh kok aku gak pernah liat yah karnaval ituh selama di pogung?
kamu anak angkatan 98 too…
wah pantes dah tua 😀
motretnya sambil mbojo, eh, mburjo
Lihat anak kecil dalam kotak, aku kok bayangi okto in the box
ha.ha.ha.ha
Eh.. wah.. ndak gaul kamu inih Tin… (*keplak)
Oh.. ngerti aku.., mesti deket2 17-an kamu pulang kampung ya.. Makane ra tahu ndelok..
*pentung…
Jaah.. pengalaman nih Pak de Ucuk..
Ndak muat kotaknya om..
wah…. akhirnya si OKTO bisa juga “melihat” cewek….
Seep….. ada kemajuan.. biar gak cuman lihat komputer dan Laptop saja… hehehehe