Sewaktu saya masih belajar HTML saja (jaman SMA), saya enggak pernah percaya kalau membuat satu halaman website static, bisa membutuhkan waktu 2 bulan, bahkan lebih. Karena secara teknis, tidak besar tantangannya. Tetapi setelah saya bekerja, ternyata kenyataannya seperti itu.
Saya ambil contoh. Halaman website yang perlu dibuat isinya hanya: judul singkat dalam format teks, satu video, dalam satu halaman website. Tidak perlu ada animasi, efek-efek aneh-aneh, kolom komentar, dll. Benar-benar hanya halaman website biasa, dan static (tidak ada informasi yang secara regular diupdate).
Bagi web developer, ini pun tergolong mudah. “Ahh elah.. Bikin satu page HTML. Kasih tag <h1> di judul. Videonya pake JWPlayer aja. Kalau mau agak bagus, pakai aja template-template jadi. Atau biar di mobile enak dilihat, pakai Bootstrap atau Foundation juga bisa. 20 menit juga itu jadi maahh…”
Kenyataannya? 2 bulan ! Beneran. Total waktu dibutuhkan dari permintaan itu disebutkan, sampai dengan akhirnya halaman website itu jadi, bisa jadi butuh waktu 2 bulan, atau bahkan lebih. Kenyataan itu keras bung. Di perusahaan-perusahaan besar ini awam terjadi. Kenapa bisa begitu? Begini contohnya:
Hari 0
Presiden Direktur mengirimkan email ke Direktur Marketing, isinya seperti ini:
“Tolong buat satu halaman di website (perusahaan) kita. Judulnya “Penghijauan Kembali Lahan Bekas Tambang”. Terus kasih video dokumentasi aktifitas CSR perusahaan kita disitu. Videonya ada di DVD. Tadi saya sudah minta tim saya mengantarkan DVD nya ke meja. Kalau sudah jadi, kasih tahu saya.”
Hari 1-3
Direktur Marketing meneruskan email tersebut ke web developer di perusahaan tersebut. Dengan permintaan seperti ini, tentu pikiran pertama si developer adalah membuat page HTML biasa, static. Kasih judul. Tempelkan videonya, playernya menggunakan plugin JWPlayer. Selesai.
Seperti halnya proses bisnis di perusahaan besar lainnya, semua hal harus ada approval setelah final. Karena itu, setelah halaman website ini jadi, harus minta approval dulu sebelum ditampilkan ke publik. Developer harus minta review dan persetujuan Direktur Marketing terlebih dahulu sebelum halaman website nya dipublikasikan. Namun, karena direktur sibuk sekali, akhirnya baru dapat waktu untuk review 3 hari kemudian. (Lihat, di sini saja sudah memakan waktu 3 hari).
Direktur Marketing [DM] : “Gini aja halamannya? Kasih penjelasan dong. Ini kegiatan apa.., siapa pihak yang ada di dalam video ini, kapan.. Masak gini doang, gak informatif.”
Developer [Dv]: “Materi yang diberikan kemarin cuma itu kemarin bos. Gak ada teksnya.”
DM: “Ya kamu buat sendiri lah. Masak gitu aja gak bisa.”
Dv: “Ok bos. Siap..”
Lalu si developer kembali ke mejanya, menambahkan satu paragraf dalam bahasa Indonesia. Isinya penjelasan video itu tentang apa, kapan, dan dimana. Selesai edit, developer kembali ke ruang Direktur untuk review lagi sebelum di-publish. Tapi direktur marketingnya sudah pergi ke ruang lain untuk meeting lain. “Besok sore aja, dia kosong kok besok sore.” ujar sekretarisnya.
Hari 4
Keesokan sorenya, developer masuk ke ruang Direktur Marketing.
Dv: “Sudah saya tambahkan bos penjelasannya. Sudah bisa saya publish kah?”
DM: “Hmm.. sebenernya masih terlalu plain sih. Tapi ya sudahlah. Coba kamu ke bagian PR (Public Relation). Kalau mereka OK, ya sudah publish aja.”
Developer tidak menemukan tim PR di mejanya. Sepertinya mereka semua sedang di luar kantor, sedang mengikuti acara media gathering. Dikirimlah email, beserta link halaman websitenya (masih di server development). Tetapi tidak ada balasan, mungkin karena semua tim PR memang sedang kelimpungan juga mengurusi acara di Kempinski itu hingga tengah malam.
Hari 5
Salah satu tim PR akhirnya membalas email : “Ini apa ya?”
Developer mengangkat telpon, dan menjelaskan ke mereka ini tentang apa. Lalu tim PR bilang: “Ok sih. Tapi videonya harusnya pakai yang lebih baru aja. Nanti aku minta tim dari Kalimantan kirim deh videonya.”
Hari 6-8
Tim dari Kalimantan belum mengirimkan videonya. Developer menanyakan kembali via email ke tim PR.
Tim PR: “Oh iya sorry. Videonya masih di-edit di agency. Tapi besok sudah kok katanya.”
Hari 9
Video sudah diterima. Konversi lagi ke format mp4, ubah ukuran resolusi, dan upload. Karena ada perubahan video, developer inisiatif menemui lagi Direktur Marketing, sekadar update saja. Kenapa tidak via email? Sudah jadi rahasia umum, Direktur Marketing mereka tidak suka diskusi sesuatu yang visual via online. Harus face-to-face.
Ternyata beliau tidak di tempat. Sang Direktur Marketing sedang di kantor Google. Katanya mau ada program promosi bersama. Jadi halaman website ini direview oleh tangan kanannya yang ber-title: General Manager [GM]. GM nya ini belasan tahun berkarir sebagai supervisor di lapangan sebelum naik jabatan dan pindah divisi ke Marketing.
GM: “Ini videonya kok tentang tanam-tanam pohon semua sih? Emangnya perusahaan kita bisnisnya tanam pohon?”
Dv: “Err.., ini untuk campaign program CSR kita sih bos. Bukti kalau kita itu peduli sama lingkungan.”
GM: “Eh..! Ujung tombak perusahaan kita itu jualan semen! Ya harus ditunjukkan. Paling enggak, editlah videonya, diselipin aktifitas pabrik dan penjualan kita. Inget ya, kita itu harus selalu ingat kerja keras teman-teman kita di pabrik dan di bagian penjualan. Kalau butuh video-video lainnya, minta tim PR. Mereka pasti punya banyak koleksi videonya.”
Dv: “Siap boss..!”
Hari 10-13
Tim PR memberikan beberapa koleksi videonya. Developer akhirnya minta tolong tim desain untuk membantu edit video. Tapi karena tim desain sedang kejar deadline membuat poster sponsor Liga Super Indonesia, edit videonya harus menunggu 3 hari.
Hari 14
Video sudah jadi. Sudah diupload. Tim PR juga OK. Di dalam rapat bulanan para bos-bos, GM menyempatkan untuk menunjukkan halaman website tersebut ke Direktur Marketing. Kebetulan di sebelahnya duduk Direktur Operasional [DO]. DO ini berkewarganegaraan Perancis, negara asal induk perusahaan ini.
DO: (dalam bahasa Inggris) “Kenapa teks penjelasannya hanya ada dalam bahasa Indonesia saja? Kamu pikir perusahaan holding kita di Perancis bisa Bahasa Indonesia semua?”
Developer kembali minta tolong tim PR, agar membuat teksnya dalam bahasa Perancis juga.
Hari 15
Developer menunjukkan halaman websitenya ke Direktur Marketing.
DM: “Gue sih sudah Ok. Tim PR juga sudah OK kan? Ya udah, publish aja.”
Dv: “Okee. Siaap bos..”
DM: “Eh bentar. Coba tunjukin juga ke Direktur Operasional. Ya, biar dia tahu aja sudah diupdate, sekarang sudah ada bahasa Perancisnya. Kemarin kan protes tuh dia.”
Developer ke ruang Direktur Operasional. Menunjukkan videonya sudah diperbaharui.
Dv: “Bos. Paragrafnya sudah ditambahkan versi bahasa Perancisnya.”
DO: “Hah? Mana?! Ini videonya belum ada subtitlenya gitu kok??”
Iya. Betul. Direktur Operasionalnya memang tidak pernah minta subtitle. Tapi kalau levelnya sudah direktur, percuma didebat.
Hari 16-19
Developer meminta bantuan tim desain lagi untuk menambahkan subtitle di dalam video. Mereka juga sedang padat jadwalnya. Jadilah butuh 3 hari baru bisa selesai.
Hari 20
Developer menemui Direktur Operasional kembali. Kali ini dia sudah puas. Keluar dari ruangan, si Developer berpapasan dengan Direktur IT (DI). Ditanya, lagi project apa kok tumben ke ruang Direktur Operasional. Developer menjelaskan tentang halaman website ini. Dia kaget, karena tidak tahu ada “project” ini. Jadilah dia ikut mereview.
DI: “Ini kalau saya mau lihat di perangkat mobile bisa?”
Dv: “Err, kayaknya enggak sih bos. Harus ada penyesuaian lagi.”
DI: “Kenapa gak taruh di YouTube aja sih? Terus embed ke halaman web ini. Jadi pasti bisa dilihat di perangkat apapun kan? Kamu gitu aja masa gak ngerti.”
Dv: “Iya sih bos.”
DI: “Ya sudah, taruh di YouTube saja. Sekalian gitu loh, biar YouTubers bisa lihat.”
Hari 21-35
Video sudah di-upload ke YouTube. Halaman website sudah jadi, tinggal di-publish. Tiba-tiba Direktur PR [DP] mendatangi meja si developer.
DP: “Eh, saya kok ketemu video kegiatan CSR kita di YouTube ya? Bocor darimana itu ya?”
Dv: “Loh, emang saya yang upload bos. Biar bisa di-embed di halaman website kita.”
DP: “Kamu upload di akun YouTube siapa?”
Dv: “Akun saya pribadi bos”
DP: “Ya mana bisa gitu.. Kalau video resmi perusahaan, ya harus diupload di akun resmi perusahaan. Kamu jangan sembarangan.”
Dv: “Akun resmi kita di YouTube apa, bos?”
DP: “Coba kerjasama sama tim saya saja. Mereka yang tahu.”
Developer menemui tim PR. Dan ternyata Perusahaan tidak memiliki akun resmi apapun di social media kecuali Twitter. Dan ternyata, secara policy, setiap pembuatan akun social media resmi di tiap-tiap negara, harus melalui proses submit, review dan sertifikasi dari perusahaan induknya di Perancis. Proses ini memakan waktu paling cepat 2 minggu.
Hari 36
Akun resmi perusahaan di YouTube sudah jadi. Video sudah diupload. Halaman website juga sudah jadi. Tinggal publish. Lalu datanglah email dari Direktur PR.
DP: “Jangan lupa, pastikan legal tahu ya. Siapa tahu di dalam video ada muncul brand lain yang kita tidak punya ijin untuk menampilkan. Banyak alat-alat pabrik yang terlihat di video itu soalnya.”
Developer memastikan via email ke Tim Legal [TL].
TL: “Ohh. Gak apa-apa kok brand itu muncul di video. Soalnya masih dalam batas wajar, toh gak diomongin. Eh iya, Talent Release nya tolong kirim ke saya ya.”
Dv: “Talent Release apaan bos?”
TL: “Itu loh. Kalau ada muka-muka orang yang muncul di video, kan harus ada perjanjian tertulis kalau mereka memang bersedia ditampilkan. Apalagi kalau mereka pekerja third-party, bukan karyawan kita. Sudah ada kan dokumennya?”
Developer tidak pernah tahu soal ini, jadi tim PR lah yang ditanyain. Dan mereka juga kurang tahu, tim di Kalimantan (yang membuat video di lapangan) lah yang tahu. Ternyata, dokumen itu memang belum ada. Butuh waktu 3 minggu untuk tim di Kalimantan bisa melacak satu per satu orang-orang di video tersebut untuk dimintai persetujuan legalnya.
Hari 57
Akhirnya semua dokumen lengkap. Developer membantu tim legal mensortir dokumen Talent Release tersebut. Di saat itu tim HR juga sedang di ruang legal untuk mengurus perkara tuntutan serikat buruh. Mereka melihat video di preview halaman website ini.
Tim HR: “Eh ini videonya untuk publish di internal kan?”
Dv: “Enggak bos. Ini untuk di website. Belum di publish sih.”
Tim HR: “Hah? Untuk umum?! Eh.. jangan dipublish dulu. Ini video orang-orang di pabrik gak beres semua. Lihat tuh, ada yang gak pakai helm, safety shoes, vest standar perusahaan. Yang di kantor juga gak pakai ID Card.”
Dv: “Ya gak keliatan norak kok bos. Masih bagus kok keliatan di videonya.”
Tim HR: “Bukan gitu. Kita ini kan punya standar ISO, sertifikasi HSE (Health, Safety & Environment), dan sertifikasi – sertifikasi lain. Jadi yang kaya gini ini gak boleh ada lagi harusnya. Apalagi kita bentar lagi mau di audit. Kalau video ini bocor, bisa berabe kita. Ah.., untung saya kesini, jadi halaman webnya belum sempat dipublish. Hampir jantungan saya..”
Dv: “Errr…, halaman webnya belum sih bos. Tapi.. anuu.., videonya sih sudah ada di YouTube dari hampir 2 minggu lalu, hehehe.”
Tim HR: (pingsan beneran).
Dan akhirnya, sampai di hari ke 60 pun, halaman website yang sederhana ini tidak pernah terbit.
Variasi
Variasi dari kejutan-kejutan lainnya banyak sekali. Misal:
- Ternyata menurut tim legal, di setiap footer halaman website harus ada Disclaimer dan Copyright Policy. Tetapi setiap pemasagan Disclamer dan Copyright ini harus mendapatkan “restu” dari holding mereka di Perancis.
- Menurut Policy di IT, setiap penerbitan dokumen baru di internet (termasuk halaman website), harus dilakukan penetration test terlebih dahulu. Karena penetration test yang dilakukan ada banyak (termasuk untuk database, jaringan, firewall, dll), terpaksa masuk antrial jadwal penetration test dulu.
- Di tengah-tengah proses ini, bisa jadi tim leader di Kalimantan ada yang resign. Jadi proses administrasi dokumen Talent Release tadi bisa jadi bakal berantakan.
- Direktur Keuangan tidak setuju dengan video yang ditampilkan. Menurut dia, prinsip keterwakilan tidak ada di video ini. Yang muncul hanya orang-orang pabrik, dan tim CSR. Seolah-olah tim keuangan tidak penting di perusahaan. Padahal video ini adalah image perusahaan untuk umum. (Iya, rada absurd sebenarnya, tetapi ini mungkin sekali terjadi).
- Seorang VP dari Perancis, tangan kanan Group CEO, ternyata sedang berkunjung ke Indonesia. Dia baru saja menghadiri seminar Digital Creativity for Enterprise di Singapore. Dia bilang “Saya kemarin ikut seminar. Itu isinya ahli-ahli semua. Mereka punya data hasil riset resmi. Jadi mereka bilang, untuk membuat nyaman melihat screen komputer dalam waktu lama, harus dominasi warna biru dan putih. Tolong semua elemen di halaman website ini dibikin desainnya kebiru-biruan ya.”
- dst..
Jadi kalau ada yang bilang ke anda, “Saya baru menyelesaikan proyek saya, lama banget, 6 bulan. Padahal bikin 1 halaman website aja sih.” Bukan berarti halaman websitenya itu rumit sekali dan banyak fitur. Tetapi prosesnya itulah yang rumit dan “penuh fitur”.
Catatan: #bukancurcol Ini fiksi dari gabungan pengalaman bekerja sebagai web developer, konsultan untuk client dan bekerja di client. Nama departemen, jenis bisnis, dll nya hanya random aja. Semuanya sekadar untuk ilustrasi.
[Update] Please don’t get me wrong. Dalam tulisan ini, yang saya mau sampaikan adalah: This is what could happen in real life web development. It will happen, a lot, if not most of the time. Jadi tantangannya bukan hanya soal teknis. Mau pakai NodeJS kek, Python kek, Scala kek, CSS 5 kek, HTML 9 kek, tantangan seperti ini selalu hadir. Seringkali malah lebih dominan.
…
…
Hari 61
Presiden Direktur [PD] memasuki ruang Direktur Marketing.
PD: “Didn’t I tell you to make a new page on our website?”
DM: “Oh, yes, sir. I remember that.”
PD: “SO WHERE THE F**K IS THE WEB PAGE??!! I WANNA SEE IT..!”
DM: “Eh.. mm.. IT still working on it, sir. ” (senyum kecut)
PD: “2 months for a single web page??! I’m gonna f**k IT Department!”
Link terkait: Emangnya programmer sukses itu kaya apa, sih?
Sedih banget ceritanya.
Banyak banget pintu gerbangnya dan rulenya
curcol juga gak papa, to… sini piknik lagi ke serpong, maem holikow lagi hahaha
itulah ‘proses’ ????
ya begitulah namanya website.
Yang salah ya developernya:
1. Ngga konfirm dulu dari awal ke supervisornya (e.g. Direktur IT) kalo dapet rekues dari Presiden Direktur.
2. Ngga ngelakuin requirement gathering lengkap dengan paper/electronic trail biar kalo dibilang ada yang kurang bisa nunjuk ke requirement di awal. Kalo memang perusahaannya butuh CYAE (Cover-Your-Ass-Engineering) ya praktekanlah CYAE.
3. Setiap ada change request langsung diterima tanpa berlindung di balik atau inform ke supervisornya. Bikin paper/electronic trail yang jelas juga biar punya bukti kalo disalahin. Again, CYAE.
Note: CYAE ngga baik buat maturity seorang engineer. Kalo Anda berkerja di perusahaan yang terus menerus memaksa anda mempraktekkan CYAE, mending pindah ke perusahaan lain.
ini lucu sih 😀 dan ini baru kisah developer in-house. coba kalo yg versi agency. prosesnya bisa tambah panjang lagi 😀
Versioning dlm staging membantu mempercepat pengambilan keputusan oleh pakbos..
Siyaaap Calon Bu Mentri..!
Huahahahah soro men uripe developere rek ==”
1. Jarang sih staf biasa yg mau minta Dir. IT nya buat confirm detail request ke Presdir? Kalau pun akhirnya berani, bisa ditebak jawabannya “Bikin aja dulu, nanti direview”.
2. Walaupun sudah ada sistem approval tercanggih, kalau Direktur, apalagi Presdir yang bersabda, percayalah, pada akhirnya level staf ya ikut aja.
3. Kembali ke poin 2.
No.. it’s not about me. Ini cuma mau nunjukin aja, kalau this is what could happened in real life web development. And this is happened a lot.
Persis bro..! Ini tadinya gue mau bikin versi yang pake agency, tapi gak kebayang lagi ntar panjangnya tulisan ini jadinya. Haha.
Hmm, bukan masalah teknis sih yang bikin ribet. Tapi proses bisnisnya aja.
*pukpuk*
You misunderstood me. Anda di sini bukan Anda pribadi, itu juga sudah jelas dari disclaimer di akhir cerita, Anda di sini maksud saya mereka2 yang baca komentar saya.
Saya paham betul kok suka duka web development. Been there, done that. Again, tujuan poin 2 dan 3 di atas adalah untuk Covering Your Ass, bukan supaya ada approval resmi dari Presdir. Ketika si developer dihimpit di tengah banyak stakeholder seperti di atas, dia harus pintar main politik juga kalo engga mau ujung2nya dia yang jadi tumbal buat disalahin
Solusi yang lebih baik ya pindah ke perusahaan yang kulturnya ngga toxic kaya gitu. Biasanya memang kalau core businessnya bukan IT, kita jadi relegated ke posisi kelas dua.
Ah yes. Ternyata saya salah paham 😛
Betul, betul. Totally agree with you.
Dan bisa beberapa milyar ya untuk sebuah halaman statis web 😀
Menarik ceritanya, tapi saya senang dgn tim2 di divisi lain yg cukup detail. seperti wajah orang yang tampil harus ada persetujuannya, dll.
Thank u ya udah sharing, jadi tau sukaduka Developer di lapangan. Salam kenal.
sakno 🙁
Memang sih…ini kenyataan yang ada dan tidak bisa mengelah, untuk kedepannya…berhati-hatilah jika menerima job dari prerusahaan besar, jangan terima job sebelum semua jelas.
duh! kesian 🙁
bener banget, awalnya emang ga percaya ..
yaellah 1 halaman doang, beberapa jam-an juga kelar ..
dan ternyata 1 jaman :v belom kelar2
yuph birokrasi antar divisi yang menyulitkan 😀 ,
LOL :)))
Lo emang complete package ya to anaknya. Copywriter and DevelopMaster!
Bener nih, ane juga ngalamin. Bikin 1 halaman hampir sebulan. Banyak revisinya 😀
Kebanyakan bergaul sama lo Man. 😀
memang serumit ini untuk develop website. Bukan masalah seberapa pintar anda mengatasi framework, tapi juga seberapa cerdas anda menghandle berbagai macam divisi dalam perusahaan
Sangat kompleks ya kisahnya, ini sih banyak pake syntax or, and, back, delete, dll. Hehehehe…
Wahahaha, gw tau nih kayaknya om Okto basa-basi doang biar conversation yang gak asik di atas cepat berakhir. 😛
wah,saya yang mahasiswa jadi ngeerti owh begni tuh kalau di dunia kerja.
Jahat banget developernya disalahin… 🙁
1. Ngga konfirm dulu dari awal ke supervisornya (e.g. Direktur IT) kalo dapet rekues dari Presiden Direktur. —> Trus kalo udah ke supervisor mau apa? Suru supervisornya yang tanya detailnya? Kemungkinan besar suru cari tau sendiri. Kalaupun supervisornya bantuin, cerita di atas bisa tetap terjadi toh. Bedanya cuma nambah 1 rantai (aktor) lagi.
2. Ngga ngelakuin requirement gathering lengkap dengan paper/electronic trail biar kalo dibilang ada yang kurang bisa nunjuk ke requirement di awal. Kalo memang perusahaannya butuh CYAE (Cover-Your-Ass-Engineering) ya praktekanlah CYAE. —> Gw ada pengalaman di startup company, jadi gw melihat ini sebagai kejadian yang sangat sangat sering terjadi di startup. Mau ada detail requirementnya kek, mau ada ttd bos besarnya di situ kek, tetep aja semua bisa terjadi dan semua bisa berubah. Cerita di atas menggambarkan itu dengan perfect sekali. It (shit) happens.
3. Setiap ada change request langsung diterima tanpa berlindung di balik atau inform ke supervisornya. Bikin paper/electronic trail yang jelas juga biar punya bukti kalo disalahin. Again, CYAE. —> Yah namanya juga si developer di cerita ini posisinya begitu (bukan IT-driven company). Mana yang request level direktur semua pulak. Nasib bos….
Tapi gw setuju satu hal sama lo, KALO GA SENENG YA PINDAH AJA.
Ujungnya agak gak enak yah, IT disalahkan… hahaha (Bela orang IT)
Saya jadi terharu bacanya 😀 ternyata membuat sebuah halaman saja butuh perjuangan yag berliku-liku, setelah baca cerita di atas saya semakin semangat untuk belajar desain web. 😀
mari belajar dari tulisan ini
Wah, memang sih, agak susah mendevelop situs instansi….
Ga cuma soal website sih, banyak hal juga begitu
ceritanya sangat menarik dan lucu, tapi yang paling cerdik bilang kalo itu cuma fiksi nya di bagian belakang 8)
Ouch! PD bilang “2 months for a single web page??! I’m gonna f**k IT Department ! “. Birokrasi memang suck but we should live with it.
artikelnya mantap Om. seperti jejak petualang.
Tulisannya asik dibaca. Ruwetnya kerja sama perusahaan begitu ya 😀
Menyedihkan ya kalau masih level staf,
Demi kesejahteraan bersama, dengan menggunakan bahasa yang awam … Makannya Saya sekarang berhenti menerima jasa desain/pembuatan web + semacamnya. Sekarang Saya lebih suka jadi developer open-source saja pak, yang lebih bebas dan lebih ikhlas, sebagai hobi, dan memutuskan untuk tidak kuliah di jurusan TI. Pengalaman dulu waktu pernah nerima jasa desain tema juga begitu permintaannya banyak, meskipun batasan sebenarnya sudah ditentukan, tapi dari sananya tidak tau kalau mewujudkan permintaan-permintaan tersebut itu sebenarnya sulit.
Bicara soal harga juga, Saya jadi bingung menentukan karena dari pihak klien (ciye bahasanya) tidak tahu apa-apa soal latar belakang pembuatannya jadi Saya anggap wajar saja kalau semisal mereka singkat menganggap kalau harga desain web itu cuma sekian murah rupiah. Maklum, orang-orang seperti agan-agan ini kerjanya kan abstrak semua.
Proyek macam open-source setidaknya memberikan sedikit penjelasan secara tersirat (kalau mereka mau menyisihkan waktu untuk melihat isinya) kepada semua orang mengenai bagian-bagian sulitnya, entah melalui kode, melalui rencana-rencana yang disisipkan dalam pembaharuan kode, de-es-be. Dari situ Saya jadi merasa seperti dapat ruang untuk sedikit bicara, meskipun Saya tidak mendapatkan bayaran dari itu.
Oya, jangan terpengaruh dengan Saya ya, yang memutuskan untuk berhenti menerima jasa X dan tidak kuliah di jurusan TI. Beberapa orang pada akhirnya punya pilihan sendiri mengenai bagaimana ilmu mereka ingin mereka gunakan, pilihan Saya adalah Saya ingin memberikan ilmu yang Saya punya selama itu tidak merugikan Saya secara psikologis.
Kalau sekiranya pembaca lain memang benar-benar punya niat serius untuk menjadi seorang ahli TI, maka karusnya pembaca pasti sudah mengerti dan siap dengan resiko-resiko semacam ini. Percaya saja, tidak cuma di dunia TI saja kok. Di dunia kesehatan, teknik otomotif, pegawai negeri sipil dan seni juga sama saja kalau sudah masuk ke wilayah interaksi antara “konsumen” dan “produsen”.
aaah boong banged, buktinya bikin post 1 halaman gini juga kelar sehari.. tuh tgl nya cuman 1 hari ajah..
wkwkwk
Wah…. Jadi pelajaran buat saya yang lagi belajar dan berusaha konsisten di bidang ini.
Btw, memang begitulah terkadang beberapa perusahaan di Indonesia, saling tumpang tindih dan pengen nampil di tiap kesempatan walau kadang dirasa kurang penting. Hehehe
sedih juga kalo udah begini :)… semangat kang
1 open youtube
2 search “the expert short comedy sketch”
3 enjoy your absurd movie
cukup terwakili :v. saya pernah bikin web gak selesai sampe domainnya expired krn nunggu content dari client 😀
Speechless :))
saya juga pernah ngalamin itu , bedanya saya bikin web buat perusahaan multinasional baru , yg bikin greget semuanya Dari logo sampe semuasemuanya di urus sendiri . udh beres selesai hampir 3bulanan eh si hosting resmi hilang dari mukabumi azzz cpanel ilang domain lenyap . takdir : . btw pengalamanya seru nih ternyata lebih ribet lagi di perusahaan gede 😀 Good
saya juga pernah ngalamin itu , bedanya saya bikin web buat perusahaan multinasional baru , yg bikin greget semuanya Dari logo sampe semuasemuanya di urus sendiri . udh beres selesai hampir 3bulanan eh si hosting resmi hilang dari mukabumi azzz cpanel ilang domain lenyap . takdir : . btw pengalamanya seru nih ternyata lebih ribet lagi di perusahaan gede 😀 ternyata aku tak sendiri 😀 hahaha peace bro 😀
wohhh gini rumitnya kerja sebagai web developer.. hmmmm.