Beberapa hari lalu saya menggunakan jasa Gojek. Pengemudinya bercerita, ada salah satu pengemudi Gojek meninggal saat membelikan pesanan seorang pelanggan. Bukan karena apa-apa, tapi memang karena sakit. Kurang jelas, sakit jantung atau “angin duduk”.
Kabar meninggalnya pengemudi ini menyebar dengan cepat di grup-grup Whatsapp para pengemudi Gojek. Dan akhirnya banyak yang datang melayat. “Kita mah pada gak kenal, Mas. Tapi ya, kita ngerasa sesama sodara aja gitu sesama pengemudi Gojek”, begitu ujar pria yang pernah bekerja sebagai staff di salah satu hotel top di Jakarta ini.
Di lain waktu, saya pernah ngobrol dengan pengemudi Gojek. Cerita soal ojek pangkalan yang menentang keberadaan Gojek, bahkan kadang sampai melakukan kekerasan kepada pengemudi Gojek. Pria muda ini lalu mengatakan, “Kita sih Mas sebenarnya bisa aja balas. Kaya yang di Sawangan itu. Sekarang gini aja, Mas, mereka yang di pangkalan itu cuma berapa orang sih? Lagian mereka kan mangkal di situ terus, kita kalau mau balas serang, gampang nyari mereka. Lagian jelas banyakan kita. Ribuan orang juga bisa kita gerakin. Mereka malah susah kan bales kita. Lah wong kita tersebar kok. Ya, gak Mas?”
Tak lama kemudian saya membaca di media online, ada konvoi ribuan pengemudi Gojek untuk mengantarkan jenazah salah satu pengemudi Gojek yang meninggal karena kecelakaan. Alasannya karena solidaritas sesama pengemudi Gojek.
Dari satu sisi, yang saya lihat belakangan ini baru jadi semacam “unjuk kekuatan” yang tidak disengaja. Berkumpul bersama, demi solidaritas. Tapi bisa jadi belakangan, setelah sadar mereka punya kekuatan, akhirnya berubah jadi “unjuk kekuatan” beneran. Dan seperti yang dikhawatirkan beberapa pengamat di dunia online, bukan tidak mungkin nantinya ada organisasi yang merangkul mereka, atau justru mereka membuat organisasi sendiri.
Lalu bagaimana dengan GrabBike? Bisa jadi sama. Urusan cari duit di jalanan itu sejak dulu memang keras. Jika sudah semakin besar, mungkin pengemudi GrabBike dan Gojek awalnya bersatu. Mereka “unjuk kekuatan” dulu ke ojek-pangkalan yang nyata-nyata menolak keras keberadaan mereka. Fase berikutnya, di antara mereka sendiri bisa terjadi pergesekan.
Lalu muncul lah elemen berikutnya. Serikat buruh.
Di sini semakin rumit. Karena pengemudi Gojek dan GrabBike bukanlah karyawan dari Gojek ataupun GrabBike. Mereka semua pekerja lepas. Membuat serikat buruh seperti layaknya di perusahaan-perusahaan manufacturing itu mungkin bakal membutuhkan format dan kerangka aturan yang berbeda. (Disclaimer: saya bukan ahli hukum) Bisa jadi akhirnya mereka akan mulai menuntut berbagai hal.
Seperti kumpulan massa dalam format dan alasan apapun, jika tidak hati-hati bisa jadi suatu saat mereka ditunggangi kepentingan tertentu. Mudah-mudahan Gojek (ataupun GrabBike) sudah siap dengan kemungkinan ini.
namanya orang indonesia.. suka guyub, mz.. :p
Sing penting ojo jotos-jotosan yo mas yo..
Bener kata om @Okto Silaban.. Yang penting “Ojo jotos-jotosan”.. Damai-damai aja, kalo bisa jalan bareng sambil gandengan tangan.. 😀 😀
tulisan anda visioner mas, terhadap kejadian terbaru ini