Tag: pemerintah

RPP E-Commerce Memang Separah Itukah? Mari Kita Ulas

[Ilustrasi: Álvaro Ibáñez – alvy | flickr.com]

Beberapa hari ini dunia e-commerce Indonesia ramai. Musababnya Daniel Tumiwa, ketua idEA (Asosiasi E-commerce Indonesia) menyatakan bahwa dalam RPP E-commerce yang dirancang oleh Kementrian Perdagangan disebutkan bahwa pemerintah mewajibkan para pelaku industri melakukan pendaftaran yang dikenal dengan istilah Know Your Customer (KYC).

Menurut banyak pihak, ini akan mematikan industri e-commerce lokal. Karena ini tidak hanya mempersulit penyelenggara e-commerce (termasuk classified-ads), tetapi juga pelanggan. Seperti diutarakan oleh Rama (DailySocial): “Ketika anda ingin menjual barang di situs seperti Tokopedia, Bukalapak, Kaskus atau OLX, anda harus terlebih dahulu terverifikasi sebagai warga negara yang sah dengan memberikan nomor KTP/NPWP anda.”

Sayangnya artikel-artikel di Detik, CNN Indonesia, maupun DailySocial itu tidak menyertakan link ke dokumen RPP E-Commerce yang diperdebatkan ini. Saya coba cari, yang ketemu dari situs resmi Ditjen PDN Kemendag cuma ini: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH (RPP) TENTANG PERDAGANGAN ELEKTRONIS (E-COMMERCE). Mari kita ulas.

*Disclaimer: Saya gak tahu ya apakah ini sudah versi terupdate -yang diributkan itu- atau bukan. Dan saya bukan ahli hukum, jadi ini interpretasi pribadi saya.*

Penelitian naskah akademik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) perdagangan secara Elektronis dilakukan melalui kombinasi studi kepustakaan (aspek teoritis dan tujuan komparatif penerapan RPP e-commerce negara lain) dan metode pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif melalui objek penelitian secara langsung dengan menggunakan metode penyebaran kuisioner, indepth interview, focus group discussion (FGD), tabulasi dan analisis data secara statistik kepada stakeholders utama yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Bank Indonesia (BI), PPATK, YLKI, dan Penyedia web media jejaring sosial seperti Toko Bagus dan Kaskus.

-Page 16

TokoBagus (yang sebenarnya sudah ganti nama jadi OLX) enggak masuk kategori jejaring sosial pastinya. Kalau Kaskus, ya.. masih bisa lah.

Kesimpulannya, e-commerce adalah suatu transaksi komersial melalui jaringan komunikasi yang dapat berupa fax, email, telegram, telek, EDI (Electronic Data Interchange), dan sarana Elektronis lainnya meliputi kegiatan tukar menukar informasi, iklan, pemasaran, kontrak dan kegiatan perbankan melalui internet.

-Page 22

Ini telek yang mana yang dimaksud ya?

Mengapa diperlukan upaya legislasi untuk e-commerce (electronic commerce)? Ada beberapa hal yang mendasari pentingnya hal tersebut:

  1. dari aspek legal, yaitu untuk mengintegrasi berbagai peraturan dan perundang-undangan yang telah ada dan seharusnya ada, kemudian untuk mempromosikan persaingan usaha yang sehat di ranah dunia maya.
  2. dari aspek kontrak online, yaitu standar verifikasi legalitas e-document dan tandatangan elektronis, kemudian proteksi terhadap keamanan dan keandalan informasi, serta untuk membangun tugas dan tanggung jawab iklim usaha e-commerce. Dari sisi aspek pembayaran elektronis (e-Payment), yaitu: bagaimana melindungi konsumen dalam transaksi online dan pengaturan sistem pembayaran yang baru.
  3. aspek terakhir adalah Aspek Promosi e-commerce itu sendiri, yaitu untuk mempromosikan keuntungan dari e-commerce: keterbukaan (transparency), pengurangan biaya dan national competitiveness.

-Page 33 (saya edit sedikit biar jadi poin-poin)

Soal 3 aspek ini, menurut saya oke-oke aja sih. Dari aspek-aspek yang disebut ini, RPP E-Commerce ini “harusnya” niatnya emang baik.

 

Badan Hukum Penyelenggara Perdagangan Elektronis
RPP Perdagangan Elektronis akan menitikberatkan kepada bentuk badan hukum yang dapat menyelenggarakan perdagangan Elektronis. Bentuk yang akan dianut bukanlah sebuah mandatory (kewajiban), melainkan lebih kepada perlindungan dari negara (state guarantee) terhadap mereka yang menundukkan dirinya kepada pengaturan Badan Hukum pada RPP Perdagangan Elektronis ini.

Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa perkembangan perdagangan secara Elektronis tidak (akan) dapat diatur secara penuh (total control) oleh pemerintah, mengingat perkembangan web yang sangat dinamis dan lebih bersifat self-regulatory. Dalam RPP Perdagangan Elektronis akan dikembangkan sikap state guarantee bagi mereka yang menundukkan diri kepada RPP ini, yang mana akan terkait dengan Lembaga Sertifikasi Keandalan dimana RPP akan mengatur lebih ke aspek ekonomi, mengingat aspek teknis telah dijabarkan dengan detil pada hukum positif lain.

-Page 42-43

Ini dia. Kalau dari interpretasi saya, di sini kuncinya. Tidak ada keharusan/kewajiban bagi penyelenggara e-commerce lokal untuk mengikuti ini. Tetapi jika ingin dilindungi -sesuai implikasi dari RPP E-Commerce ini-, barulah perlu mengikuti peraturan ini ketika disahkan nanti.

 

4. Perlindungan bagi Penyelenggara Perdagangan Elektronis
Verifikasi Identitas Pelanggan
Untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap merchant juga memadai, perlu adanya sebuah mekanisme yang memastikan kebenaran identitas pelanggan. Hal ini sebenarnya akan dapat diselesaikan dengan adanya Single Identity Number(SIN) yang masih dalam taraf perencanaan tender oleh Kemeterian Dalam Negeri.
Dapat pula diusulkan penggunaan tanda tangan Elektronis untuk mempermudah integritas verifikasi pelanggan. Hanya patut dipertimbangkan mengenai populasi dari tanda tangan Elektronis ini (digital signature/DS) dan penetrasi penggunaannya dalam komunitas pengguna media Elektronis di Indonesia.

-Page 50

Intinya, diperlukan adanya sebuah mekanisme yang memastikan kebenaran identitas pelanggan. Seperti apa bentuknya? Masih belum pasti. Tapi kalau merujuk ke kutipan di atas, sekali lagi, ini harusnya tidak mandatory. Tidak wajib.

Mungkin akan ada yang berpendapat: Loh, kalau gak mau ikut RPP ini, berarti gak bakal dilindungi oleh peraturan yang berlaku ini dong? Ntar kalau ada penipuan, transaksi ilegal, dll, gimana dong?

Jawabannya: Ya sama aja kalau kita pake layanan dari luar negri. Misal, akhirnya pake Craigslist. Terus kalau ada kasus hukum gimana? Craiglist adanya di US, gak terikat juga sama peraturan di Indonesia. Sama aja sih jadinya. Intinya, kalau mau bebas ya bisa, tapi ya implikasinya jadi sama seperti layanan dari luar negri.

Kemudian soal Know Your Customer (KYC) yang diributkan itu. Saya tidak menemukan satu bagian pun di RPP ini yang menyebutkan istilah KYC ini. Paling dekat ya bagian “Verifikasi Identitas Pelanggan” di atas tadi. Apa ini yang dimaksud ya?

Membela Pemerintah ?

Saya bukan serta merta membela pemerintah. Dari 3 aspek yang disebutkan di RPP di atas, saya sih setuju. Nyatanya pemerintah pun tidak mewajibkan untuk ikut RPP ini, saya juga setuju. Artinya boleh pilih mau ikut atau tidak. Tapi kalau ujung-ujungnya ini membuat layanan e-commerce lokal posisinya sama saja dengan e-commerce dari luar, nah itu yang saya tidak setuju. Buat apa bikin peraturan yang bikin industri e-commerce enggan untuk mengikuti, lalu akhirnya gak ada manfaatnya. Ujung-ujungnya 3 aspek yang disebutkan di atas gak tercapai juga.

Sekali lagi, saya membahasnya dari dokumen RPP yang saya dapatkan (link di atas). Saya tidak tahu kalau ada versi yang lebih baru dari ini tapi belum diupload oleh Dirjen BPN Kemendag di situsnya.

Satu catatan penting. Dari pernyataan idEA, pemerintah katanya baru ngajak ketemu idEA 1 hari sebelum pengumuman RPP ini. Ini memang aneh sih. Bikin regulasi tanpa mengundang pihak yang pasti kena impactnya, bahkan draftnya pun katanya gak di-share. Ini harus diperbaiki.

Selain itu, RPP ini masih banyak typo di sana-sini. Dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara kok ya kaya gitu sih. Malu ah.

Semoga ketemu titik temu deh. Biar pemerintah bisa melindungi, idEA bisa jualan lebih nyaman lagi, dan konsumen pesta diskon belanja online lagi… *walaupun stocknya kosong. 😛

[Update] Bagaimana Prosedur Penutupan Situs di Indonesia ?

Di negara yang sangat liberal seperti Amerika Serikat (AS) pun, masih ada payung hukum yang bisa menjadi landasan penutupan sebuah situs. Entah karena kasus kriminal, masalah hak cipta, isinya yang menyebarkan kebencian, dll. Padahal AS terkenal sangat menjaga kebebasan berpendapat. Lalu bagaimana di Indonesia?

Sejak sekitar pilpres kemarin, banyak sekali muncul media-media online yang isinya sarat dengan provokasi isu SARA. Ada yang agak halus, tapi tak sedikit yang terang-terangan. Ada yang terang-terangan mendukung kelompok atau profil tertentu, ada juga yang “pura-pura” netral tetapi menjatuhkan kelompok atau figur yang lain.

Tifatul Sembiring, menkominfo kala itu, banyak di-mention di Twitter. Banyak yang mempertanyakan mengapa kalau urusan menutup situs yang digolongkan pornografi cepat sekali, sementara untuk situs-situs fitnah tadi tidak ada tindakan? Jawaban beliau kalau saya ringkas kurang lebih “Nah, dulu saya blokir situs dicela, sekarang malah minta saya blokir situs. Hehe.” Saya lupa kalimat persisnya, coba cek saja di akun Twitter beliau. Read More

Kapan Negara boleh Blok Twitter / Facebook?

Ya maksudnya gak cuma Twitter & Facebook aja sih.., semua social media lah.. (Plurk, Yahoo Mim, Koprol, dsb).

Bisa ditebak, tulisan saya ini berhubungan dengan keadaan di Mesir sekarang. Kalau boleh saya bilang keadaan di Mesir sekarang mirip kaya Indonesia di bulan Mei tahun 1998 dulu. Rakyat ingin reformasi. Masyarakat bentrok dengan aparat. Yel – yel yang menyerukan agar presiden segera turun terdengar di mana – mana. Nah, untuk membuat situasi tidak makin carut – marut (setidaknya menurut pemerintah Mesir), akses informasi pun diperketat, hingga akhirnya internet pun diblok (!). Saya tidak tahu apakah hasil dari strategi ini sesuai keinginan pemerintah Mesir atau tidak.

Yang menjadi pemikiran saya. Jika saja.., waktu jaman tragedi Ambon, Poso dan Sampit dulu Twitter, Facebook dsb sudah ada,  kira – kira Pemerintah Indonesia bakal memblok social media ini atau tidak ya?

Ya..ya.., saya tahu, sebagian dari penggiat dunia online akan berkata (kurang lebih) : “Saya rasa masyarakat kita di dunia maya sudah cukup pintar. Mereka tahu mana yang harus disebarkan, mana yang tidak.. Mereka tahu bagaimana sebaiknya bersikap. Toh sebagian besar pengguna internet kita biasanya pendidikannya sudah cukup”.

Saya agak ragu. Di milis – milis yang isinya banyak orang – orang yang berpendidikan tinggi pun, seringkali saya masih mendapat forward-an HOAX tentang berbagai hal, mulai dari kesehatan, produk, agama, politik, sejarah dst. Dahulu, saat terjadi tragedi kemanusiaan itu, jika saja arus informasi sudah seperti sekarang, saya rasa saya pun bakal banyak menerima forward-an email – email HOAX yang (notabene) di forward mereka – mereka yang pendidikannya sudah bagus. Kalau seperti era sekarang, mungkin bakal banyak yang ReTwit tanpa pikir panjang. Karena pada dasarnya memang manusia itu cenderung “mempercayai apa yang ingin dia percaya”.

Dalam kondisi seperti itu, bolehkah negara akhirnya memblok layanan social media tadi? Atau mungkin di level yang lebih tinggi, memblok internet sama sekali?

Aaah.. mungkin juga saya yang terlalu menilai rendah pengguna internet kita.. Saya harap saya salah.

NB: Tulisan ini bukan angin segar buat Om TIffy biar bisa tiba – tiba nge-blok ini itu ya.. Saya cuma penasaran apa pendapat anda – anda sekalian.

Di Indonesia Blokir Situs, Bagaimana Di Amerika?

Kita sama – sama tahu di Indonesia terjadi pro kontra yang begitu besar terhadap keputusan pemerintah untuk memblokir situs – situs tertentu. Baik situs pornografi, berbau kekerasan, maupun yang mengandung nuansa SARA. Saya sempat berpendapat, “Lama – lama Indonesia bisa jadi seperti RRC. Pemerintah yang memutuskan mana yang boleh tampil di internet, mana yang tidak”.

Tetapi kenyataannya di Amerika pun terjadi hal yang mirip, tetapi ini bukan dari pemerintah, tetapi malah dari pihak swasta, yaitu para penyedia layanan internet (ISP). Banyak masyarakat Amerika yang “curiga”, pihak ISP mempunyai kontrak tertentu dengan penyedia konten (website). Dengan kontrak ini maka situs ini akan lebih cepat diakses di dalam jaringan ISP mereka. Dan otomatis dengan kontrak tersebut, ISP ini pun akan memperlambat akses ke website kompetitor mereka.

Itu hanya untuk kasus kontrak sederhana. Tentunya masih ada berbagai jenis kontrak lainnya. Karena memang pada akhirnya ISP lah yang memutuskan situs mana yang bisa diakses dengan cepat, mana yang diperlambat, dan mana yang sama sekali tidak akan pernah bisa selesai loadnya (tanpa di blok !).

Model bisnis seperti ini cukup menarik untuk ISP. Karena pelanggan ISP tidak tahu apa yang terjadi, Read More

Depkominfo Lelang Pengelolaan Websitenya

Entah karena situs Depkominfo sempat kemasukan gambar orang ganteng sedunia, atau memang sudah ada rencana dari sebelumnya, kini Depkominfo melelang pengelolaan potalnya. Nilai proyek ini besarnya Rp. 336.000.000,-, dengan sumber pembiayaan DIPA Pusat Data Tahun Anggaran 2008.

Itu untuk berapa tahun ya? Pengelolaan website itu kan berkala, maksudnya bukan sekali tendang terus gol.., tapi kaya marathon, namun tanpa garis finish.

Kalau dengan asumsi biaya maintenance nya adalah RP 5jt/bulan. Berarti pengelolaan ini adalah untuk jangka waktu sekitar 5 tahun 7 bulan. Wow.., ketika proyek ini belum selesai, sudah ganti mentri tuh kayaknya. 😀

Tapi saya rasa ini langkah yang bagus dari Depkominfo, ketimbang diserahkan ke tim yang mungkin kurang tepat mengurusi hal ini (sehingga foto orang ganteng itu bisa masuk), mending diserahkan ke lembaga swasta tetapi yang berkompeten.

*lirik Pak Nukman.., Virtual Consulting ikutan gak ya? 😉

Sumber berita ada di IndoCommit.com *update, tadi salah linknya*