Di negara yang sangat liberal seperti Amerika Serikat (AS) pun, masih ada payung hukum yang bisa menjadi landasan penutupan sebuah situs. Entah karena kasus kriminal, masalah hak cipta, isinya yang menyebarkan kebencian, dll. Padahal AS terkenal sangat menjaga kebebasan berpendapat. Lalu bagaimana di Indonesia?
Sejak sekitar pilpres kemarin, banyak sekali muncul media-media online yang isinya sarat dengan provokasi isu SARA. Ada yang agak halus, tapi tak sedikit yang terang-terangan. Ada yang terang-terangan mendukung kelompok atau profil tertentu, ada juga yang “pura-pura” netral tetapi menjatuhkan kelompok atau figur yang lain.
Tifatul Sembiring, menkominfo kala itu, banyak di-mention di Twitter. Banyak yang mempertanyakan mengapa kalau urusan menutup situs yang digolongkan pornografi cepat sekali, sementara untuk situs-situs fitnah tadi tidak ada tindakan? Jawaban beliau kalau saya ringkas kurang lebih “Nah, dulu saya blokir situs dicela, sekarang malah minta saya blokir situs. Hehe.” Saya lupa kalimat persisnya, coba cek saja di akun Twitter beliau.
Sebagian dari situs-situs itu pseudonim, artinya menggunakan nama fiksi, bukan nama sebenarnya. Saya duga mungkin itu sebabnya “agak sulit” dilacak siapa orang-orang di belakangnya. Tetapi sebagian lagi namanya beredar secara terang-terangan. Dan bahkan ada yang justru mendapatkan keuntungan materi besar dari situsnya yang kontroversial itu.
Seorang teman bercerita, dia mengenal salah satu orang di belakang situs kontroversial tersebut. Dengan isinya yang kontroversial, situsnya justru jadi semakin terkenal. Dan seiring makin terkenalnya situs ini, orang di belakangnya pun mendapatkan puluhan juta rupiah dari iklan yang dipasang. Iya, betul.., kadangkala produk atau jasa itu memang market share nya pecinta isu-isu SARA.
Lalu jika orangnya sudah diketahui, mengapa situs tersebut tersebut tidak bisa ditutup? Apa jangan-jangan tidak ada landasan hukumnya kah?
Webhosting
Jika mungkin sebagai perorangan tidak ada landasan hukumnya, mungkinkah menyasar ke penyedia layanan hosting?
Sebagian besar penyedia layanan webhosting di Indonesia mencamtumkan berbagai syarat agar website client-nya bisa diletakkan di server mereka. Biasanya beberapa syaratnya mencantumkan : Tidak mengandung pornografi, bukan situs judi atau bisnis lain yang melanggar hukum, tidak mengandung SARA.
Nah poin terakhir ini memang kadang dicantumkan kadang tidak. Tetapi dari aspek legal bisnis (jika webhosting tersebut memiliki entitas legal), apakah mungkin webhostingnya yang diminta menutup situs-situs tersebut?
Memang agak rumit sih mencari landasan hukumnya. Jika benar aparat penegak hukum betul-betul menegakkan ini, bukan tidak mungkin nantinya situs-situs yang mengkritisi pemerintah pun dikenakan pasal yang sama.
Atau sebenarnya memang tidak perlukah ada landasan hukum untuk menjadi prosedur penutupan sebuah situs?
Link terkait:
- Pedoman Pemberitaan Media Siber (Media Online), dibuat oleh Dewan Pers.
- UU. No 40 tahun 1999 Tentang Pers
- Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers
Tulisan terkait: https://labanapost.com/2011/02/general/kapan-negara-boleh-blok-twitter-facebook/
[Update – 24 Maret 2015]
Setidaknya sekarang sudah ada pencerahan berarti ya. Paling enggak untuk langkah pertama.