Gojek Lokal 2.0 dan Geng 2.0

Sewaktu kita sekolah ataupun kuliah, seringkali kita temui kelompok anak – anak muda. Ada yang terkelompok dengan sengaja, ada yang tidak. Ada yang lebih *menggigit* dengan menamakan dirinya Geng Ini, Geng Anu, Geng Peranu, dan anu – anu lainnya..

Proses seleksi masuk geng – geng / kelompok – kelompok anak – anak muda ini juga samar – samar. Ada yang ngalir aja, kaya misalnya anak – anak yang tiap sore nongkrong di kantinnya Mas Anu, atau anak – anak yang waktu SMP dah pada bawa mobil sendiri. Ada yang karena sama – sama anak band. Ada juga yang terbentuk karena gaya bercanda mereka dan topik pembicaraan mereka yang punya kesamaan. Jadi kelompok ini terbentuk secara otomatis, siapa yang punya kesamaan dalam suatu (atau beberapa) hal secara otomatis masuk dalam geng tersebut. Tapi ada juga yang pake seleksi ketat macam geng – geng motor di Bandung yang sempat mbikin heboh kemarin.

Di setiap kelompok – kelompok anak muda ini, karena saking seringnya bareng, lama kelamaan gaya bercandanya pun terbentuk dengan sendirinya. Tak jarang istilah – istilah baru pun muncul. Semakin lama istilah ini tentu semakin banyak. Tapi gak masalah, toh pada kenyataannya jarang sekali ada penambahan anggota baru. Jadi yang masuk dalam kelompok ini asyik – asyik saja dengan gaya bercanda mereka, dan *gojek lokal* mereka. (*gojek lokal : becandaan yang cuma dimengerti anggota kelompok tersebut).

2.0

Karena teknologi berkembang, model kelompok ini juga berkembang. Sekarang naik ke dunia online. Kelompok – kelompok yang terbentuk juga macem – macem bentuknya, ada yang berupa forum, ada yang milis, ada yang group di Facebook, dll (geng 2.0). Alasan terbentuknya pun macem – macem. Tapi proses masuknya anggota baru ke kelompok / geng ini lah letak perbedaan mendasarnya.

Di contoh kelompok ataupun geng di atas tadi, biasanya orang – orang di luar kelompok tersebut segan untuk masuk ke geng / kelompok tersebut. Pertama, karena memang dirasa “Oh.. itu kan emang geng mereka..”. Selama gak ada anggota geng yang membawa masuk, hampir mustahil ada yang tiba – tiba datang dan bilang “Nama saya Alien, saya boleh gabung kelompok kalian enggak?”. Kebanyakan akhirnya ada yang ikut bergabung karena dia udah sering berkumpul, nongkrong, hang out atau ngangkring bareng mereka.

Dengan dunia online banyak hal jauh lebih mudah. Kita sangat mudah untuk “berteman”, tinggal klik “Add as friend” maka kita sudah “berteman” dengan seseorang, ntah memang kenal atau tidak. (definisi kenal disinipun samar – samar, antara memang kenal atau pernah tahu). Begitu juga dengan geng / kelompok tadi. Tinggal klik “join this group”, atau “subscribe” ke milisnya, berarti kita sudah menjadi “anggota” geng / kelompok tersebut.

Kenyataanya, kelompok yang sudah berjalan lama tersebut juga memiliki fenomena yang tidak jauh berbeda dengan dunia offline. Mereka punya istilah – istilah sendiri, gaya bicara sendiri, dan mereka punya gojek lokal sendiri (gojek 2.0). Contoh : cuma anak – anak Mbah Gendong yang tahu istilah *PUR…! Panganan pitik…! – dengan gaya megang bola bowling..* (cuma contoh lho ya..).

Nahh.., dia yang “dengan mudahnya” bergabung dengan kelompok / geng ini belum tentu punya pemahaman kosa kata baru / kultur / gaya bicara / gojekan yang sama. Karena memang dia “ujug – ujug” bergabung, tanpa kenal satu pun orang di dalam, tanpa tahu pasti kultur mereka. Pengan gabung cuma karena sering baca – baca thread mereka di Facebook yang puitis – puitis… (misalnya).

Kadangkala dia yang baru bergabung ini coba – coba ikut nimbrung, tapi lantaran gak nyambung dengan yang lainnya ya kurang mendapat tanggapan. Lama – lama orang baru ini pun merasa terabaikan.

Harusnya gimana ?

Entah.. Saya juga ndak tahu pasti. Saya bukan pakar telermatika. Tapi mungkin, dia yang memutuskan join di kelompok tersebut, harusnya tetap ingat dengan kondisi di dunia offline. Dia tidak bisa serta merta bergabung begitu saja dengan sebuah kelompok / geng yang sudah solid. Seharusnya dia memiliki kesamaan kultur atau apapun yang membuat dia nantinya bisa diterima (dan menerima) di kelompok tersebut. Atau bilapun sudah bergabung, ya harus menyesuaikan diri.. Ndak boleh maksa mereka yang nyesuaikan diri dengan dia.

Kelompok yang di-join-i juga tidak bisa disalahkan. Lah mereka juga mungkin gak tega mau pasang label di kelompok mereka “Hanya menerima orang yang sesuai dengan kultur / hobi / gaya kami”. Kalau sudah gabung ya masa mau diusir ? Terus ya masak mau diseleksi dulu.. Kalau batasannya sangat jelas ya mungkin, misalnya “Geng Alumni MLM Padang Gurun Tinggi”.. *eh itu bukan geng ya?? 😛

Prinsipnya “Know the people first” (opo ki? kok boso enggres??!).

6 Comments

Add yours

  1. sigh. aku punya masalah serius dengan ini. but that’s my problem though, not their fault 😀

    PS : pitik itu ndak pake “h”

  2. Hah? masalah serius?? Tenane Kris?

    Sopo sing nganggo “h”?? *(ninja)

  3. user tidak bisa diatur harus begini begitu.
    di dunia web, user punya kebebasan menentukan sikap.
    jadi pertanyaan “seharusnya bagaimana” itu tidak tepat.
    pertanyaan yang sama lebih tepat diajukan ke pemilik merek yang mau beriklan “seharusnya bagaimana beriklan di geng 2.0 ini”

    just my 2 cents

  4. Ikut gang cuman gagah2an terlalu sering di temui, biar di sidebar “nyantol” kelihatan geng2 apa aja yg dia ikuti, kalo satu orang dah multiple-gang dan kalo pemilik merek dah lirik2 sana lirik sini geng mana yg cocok di cekoki “branding”. gak tahu jadi apa kedepannya gang 2.0.

    gak cuman 2 cent , 1 dollar kalo perlu 😀

  5. Ya, saya juga lebih setuju kalau Kelompok nya yang memberi batasan. Misal pake mode : private / private only. Daripada user yang salah tanggap.

    Urusan iklan, gak mudeng Pak.. 😀

  6. seperti biasa.. straight to the point.. 😉

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *