Ini sedikit hal yang mengganggu pikiran saya beberapa saat lalu (yang sempat saya tulis juga di Plurk). Ini situasinya.
Anggaplah anda seorang penari. Ya cuma penari. Maksud saya penari yang sudah pengalaman beberapa kali pentas disana – sini. Tapi belum pernah tampil di kelas nasional, apalagi internasional. Anda juga belum memiliki sanggar tari, masih penari independen (penari indie?). Impian anda adalah menjadi penari profesional, yang melakukan pentas di panggung kelas nasional (atau malah internasional), punya sanggar tari, sehingga bisa mengajak (mempekerjakan penari lainnya) untuk membuat kolaborasi – kolaborasi tarian indah lainnya.
Sambil berusaha mencapai impian anda tersebut, anda mulai mencari berbagai resource mengenai tari. Hingga akhirnya anda sampai di media internet. Dimana anda bisa mencari berbagai artikel seputar tarian, jenis – jenis tarian baru, video tutorial, atau informasi pernak – pernik yang berkaitan. Tentu saja akhirnya anda menemukan banyak informasi tentang penari – penari lainnya. Baik yang sudah profesional, mapan, ataupun masih amatir.
Anda pun akhirnya mulai menuliskan tentang penari – penari ini di sebuah blog. Anda menganalisis mengapa satu penari gagal dan penari lainnya berhasil. Anda juga sering mereview penari – penari baru yang muncul dengan gaya yang modern, artistik tapi dengan sentuhan etnik. Seringkali anda juga mulai membuat tulisan yang berisi kritik terhadap perubahan gaya tari seseorang, yang menurut anda tidak orisinil, terlalu meniru penari lainnya. Atau kadang anda mengkritik seorang penari baru yang terkenal, tapi cuma dengan gerakan – gerakan yang terlihat bagus sesaat.
Banyak pengunjung blog anda yang mengikuti tulisan anda. Tentu saja ada pro kontra terhadap kritik atau pujian yang anda berikan. Sebagian dari pengunjung ini juga adalah para penari amatir yang berusaha jadi profesional. Sebagian lagi mereka yang baru saja membuka sanggar tari.
Pernyataan yang mungkin muncul : Hey… siapa kamu? Berani – beraninya menulis tentang dunia tari? Berani – beraninya menulis kritik? Berani – berani – beraninya menulis tips tari – tarian? Memang kamu sudah jadi apa sekarang? Punya sanggar tari saja tidak.. Pentas di panggung nasional saja tidak pernah.. Semua tulisan anda adalah omong kosong.., karena anda sendiri tidak bisa membuktikannya kan?
Pertanyaannya. Sekarang layakkah anda meneruskan cita – cita anda menjadi penari profesional tadi? Sementara anda tetap harus tetap *membicarakan* penari lainnya (baik yang pro maupun amatir). Atau anda menjadi profesional blogger seputar dunia tari saja?
Saya belum menemukan mereka yang menjadi *kritikus* / *reviewer* dulu kemudian berhasil menjadi penari profesional. Yang saya temui ada 2 jenis :
1. Menulis, dan tulisannya mendapat tanggapan yang bagus. Dan akhirnya memilih jadi penulis profesional saja.
2. Menjadi profesional dulu, baru akhirnya mulai menulis..
NB : Penari disini cuma contoh acak saja, anda bisa menggantinya dengan pesepakbola, marketer, pesilat, atau (ya..) programmer.
François Truffaut . Bio-nya bisa dilihat di: http://en.wikipedia.org/wiki/François_Truffaut .
hmm.. kalo tujuan menulisnya sekedar penuangan pikiran dan potret dari kondisi pemikiran sendiri sepertinya sah-sah saja, menjadi penulis dan profesional sekaligus tanpa urutan tertentu pun sebetulnya bisa dilakukan. justru yang bagus seperti itu supaya terhindar dari sekedar jurnalis yang tujuan dari tulisannya hanya mencari sensasi atau agar menjadi terkenal belaka.. tipe seperti ini yang ‘mungkin populer’ tetapi seringkali memuat informasi yang misleading..
pertanyaan yang mempertanyakan akan muncul kalau tulisannya hanya *membicarakan* orang lain tanpa (atau lebih sering dilakukan daripada) *membicarakan* progresi diri sendiri..
seperti proses untuk menjadi juga perlu,
bukan cuman result oriented.
Wah curcol ya? Menurut gwe menjadi kritikus penari yang bagus tidak harus menjadi penari yang hebat terlebih dahulu. Gwe pernah baca tentang pelatih sepakbola, yang ketika masih di liga kecil dia kena cedera dan tidak boleh main sepakbola lagi. Tapi dia jadi pelatih dan menjadi rebutan klub klub sepakbola karena prestasinya.
Maksud dari cerita itu, kritikus itu adalah orang yang sangat paham industrinya, bisa melihat hal-hal yang tidak langsung bisa dilihat oleh orang lain, sensitif terhadap detail dan yang paling penting confident terhadap opininya, tidak mudah dipatahkan oleh orang lain.
Gampangnya, kalau orang menganggap kritikus itu NATO, no action talk only, maka kita bisa menganggap Einstein atau Newton NATO juga donk, karena hanya mengeluarkan teori-teori, yang pada saat itu tidak bisa dipraktekkan (bahkan tentang membengkokkan waktu saja sekarang belum bisa dibuktikan). Bayangin aja Einstein membuat teori relativitasnya di usia 26 tahun. Kalau semua orang *sinis* terhadap Einstein dan Einstein kemakan *sinisme* orang, mana mungkin dia bisa memberikan ratusan karya ilmiah dia buat dunia.
Jadi, kalau gwe sebagai penarinya, I’d say ‘mind your own business. If you don’t like my work, don’t read it.’
Kalo aku sih enaknya dapet ilmu dulu baru nulis…
Walau dapet ilmunya baru dikit2 dikarenakan masih dalam tahap pembelajaran, toh nulis juga nggak apa2…asal sesuai dengan ilmu yang kita punya. Itung2 sekalian buat dokumentasi ilmunya itu…
Jadi, apa yang kita tulis itu bisa dipertanggungjawabkan karena kita punya ilmunya..
hmmm .. mungkin pertanyaanya bukan pilih mana tapi bagaimana cara merespon. Semua berangkat dari ketidaktahuan jeh. Kata lagu-lagu itu: mereka juga pernah muda. Yang sudah pintar dan bisa mengkritik dulunya pasti ndak njegagig (tiba-tiba) pintar, pasti ada kalanya mereka pernah belum tahu.
Bagian dari proses lah ini.
BTW, kok poin yang dibawah pakai kata penulis bukan penari??
pria yg menjadi dokter kandungan juga tdk harus mengandung dulu kan sblm buka praktek? 🙂
sebenarnya bukan masalah salah atau tidak..
tetapi lebih kepada masalah sampai sejauh mana anda bertahan. anda bersemangat, dan yang lebih penting lagi adalah anda nyaman dengan yang anda kerjakan…
yang namanya kritikan tuh memang gak selalu kita inginkan.. tetapi itu semua adalah proses pembelajaran bagi kita…
aku berfikir raihlah semua angan angan anda… yang pernah “berhitung” sebelum memulai pekerjaan.. karena yang ada hanyalah anda akan terus menerus berhitung tanpa memulai suatu pekerjaan…
mari kita sama sama memulai…
Poin yang 1 itu om? Ya memang penulis kan..
*akhirnya dia tidak jadi penari profesional, tetapi menjadi penulis profesional
Hmm.. agak beda Om.., karena contohnya haruslah berhubungan dengan media.
Misal :
Ada gak dokter kandungan yang tadinya jadi kritikus dokter kandungan dulu, baru jadi dokter kandungan..?
Emmm.. kayaknya salah tangkap deh Jon..
Ini bukan masalah mau dikritik ato enggak. Tapi gimana seseorang yang tadinya menjadi kritikus/penasehat terhadap suatu profesi, sementara dia sendiri belum pernah sukses di profesi tersebut..
Menuliskan ilmu dengan mengkritik/menasehati yang lain itu cukup berbeda kan? *walaupun nyerempet – nyerempet..
Einstein itu mungkin dalam beberapa temuannya masuk dalam NATO, karena memang baru sampai postulat. Tapi, dalam kebanyakan kasus toh dia bisa membuktikannya. Nah karena pembuktiannya pada sebagian besar kasus itu lah reputasinya dihargai.
Beda dengan seseorang yang bercita – cita jadi “the next einstein”, dia masih amatir di bidang Fisika. Tapi dia membuat blog yang berisi nasehat – nasehat, kritik, atau review terhadap fisikawan – fisikawan lain..
“pertanyaan yang mempertanyakan akan muncul kalau tulisannya hanya *membicarakan* orang lain tanpa (atau lebih sering dilakukan daripada) *membicarakan* progresi diri sendiri..”
Aku setuju untuk poin ini..
Mungkin sebaiknya agar tidak terlalu berlebihan.., kontennya diisi juga dengan tulisan mengenai progres dirinya sendiri..
Apakah pelatih Big Four EPL saat ini adalah pemain sepakbola ngetop di jamannya? Apakah kritikus film ngetop Roger Ebert pernah bikin suatu film yang dapet Oscar sebelumnya? Apakah reviewer culinary Michelin pernah jadi super-chef sebelumnya?
Kadang bisa jadi orang lebih sukses jadi kritikus/reviewer/pengamat/penasehat dibanding pelaksana.. jadi sekali lagi orang yang gagal menjalani, bukan berarti gagal memberikan masukan
IMO, layak aja sih.
Justru blog yg terbuka berpeluang ada interaksi bantahan.
Jadi yg memang profesional harusnya jg ngeblog utk meng-counter yg non-profesional.
Krn kadang yg profesional menurut akademisnya, ternyata kurang mumpuni di bidang tsb.
Di dunia nyata ada pengamat manajemen rumah sakit tp ngga punya RS.
Ada jg pasien yg protes layanan dokter, toh akhirnya memilih pendidikan dokter jg.
Praktisi marketing Internet, SEO, (tanpa gelar akademis) lalu sukses dan menyebut diri/dianggap Internet marketer, SEO experts, bs jg kan..terserah konsumen lah..
Jd pengunjuk rasa dl, lalu caleg, berikutnya anggota dewan yth.
Tdk dibekali ilmu telematika versi akdemis, tp dianggap pakar telematika? Bisa-2nya media kali ya.. 🙂
Saya nulis standar web tp ngga berniat mjd desainer web dan blm bs nerapin utk blog sendiri. 😀
Justru itu maksud saya..
Saya tidak menemukan orang jadi awalnya adalah kritikus/reviewer baru jadi profesional..
Yang ada, memang dari awal adalah kritikus/reviewer
Kemudian yang profesional, kemudian menjadi kritikus/reviewer..
Artikel yang sangat menggugah.
Saya berprinsip Learning By Doing.
Jadi gak harus Pro dulu baru bisa mengkritisi.
Lagian ukuran Pro itu gimana sih..
Jadi yang amatiran itu ketika mengkritik bisa juga mengarahkan dirinya menjadi Pro.