Semasa kuliah, perangkat lunak open source seputar pengolah musik yang saya tahu hanya Audacity dan LMMS. Kalau di Windows sempat kenal Fruity Loops (sekarang berganti nama jadi FL Studio), tapi sebentar saja. Jadi saya tidak tahu banyak. Bahkan cenderung bingung dengan konsepnya, walaupun banyak yang bilang sangat mudah.
Circa 2009
Setelah di Jakarta, saya kembali ngoprek membuat musik di laptop menggunakan Linux. Perangkat lunak yang saya gunakan:
- Seq24 (sequencer): Untuk merekam part-part midi.
- ZynAddSubFX: Synthesizer. Kalau di dunia VST semacam Sylenth1 atau Nexus lah.
- Hydrogen: Drum machine
- QjackCtl (JACK audio connection Kit): Semua tool tadi disentralisasi di sini, jadi bisa dimulai secara bersamaan.
- Audacity: Semacam Photoshop tapi buat audio post-processing (record, cut, multitrack, change pitch / tempo, convert, dll). Sampai sekarang saya masih sering pakai, baik di Windows maupun Mac.
(Sayang saya tidak ketemu screenshot yang sempat saya ambil waktu itu).
Pengalaman saya, dengan perangkat lunak di atas memungkinkan sekali membuat musik secara digital menggunakan sistem operasi Linux. Waktu itu tepatnya saya menggunakan Ubuntu.
Tetapi kekurangannya adalah repot sekali. Sebelum bisa membuat lagu, kita harus menghubungkan semua perangkat tadi satu per satu ke QjackCtl (kecuali Audacity). Lalu proses undo jika salah record pun ribet. Awal-awal saya cukup antusias karena perasaan ingin “solve the problem”. Tetapi lama-lama jadi males sih. Ketika ada ide sound atau nada, tidak bisa langsung diimplementasikan melalui perangkat lunak itu. Setelah konfigurasi sana sini, moodnya malah hilang, kadang bahkan idenya sudah basi duluan. Tujuan utama saya kan membuat musik, bukan “ngoprek” software.
Saya sempat juga coba LMMS dan Ardour. Tapi bagi saya sih gak nyaman penggunaannya. Kecuali kalau memang niat banget ya ngoprek satu-satu.
DAW non Linux
Seperti saya sebutkan di atas tadi, saya pernah pengalaman menggunakan Fruity Loops. Saya tidak begitu paham dan tidak begitu nyaman. Tapi dibanding tool-tool di Linux tadi, FL Studio jauh lebih nyaman menurut saya. Apalagi setelah saya kenal Ableton. Semuanya terasa jadi lebih mudah.
Circa 2012
Sejak saya “merasa repot” dengan perangkat lunak kreasi musik di Linux, saya bergeser ke perangkat lunak lain. Beberapa nama DAW (Digital Audio Workstation) yang cukup populer di kalangan produser musik dan DJ profesional adalah: Logic Pro (hanya di Mac OS), Ableton (Mac dan Windows), dan FL Studio (hanya Windows).
Pada waktu itu saya menggunakan Windows. Karena merasa tidak nyaman dengan FL Studio, saya mencoba Ableton. Dan dalam hitungan menit saya sudah “get the idea” bagaimana membuat musik di Ableton. Terlebih tutorialnya banyak sekali.
Belakangan saya berganti laptop ke Mac Book. Kebetulan laptop lama sudah butut dan pengenalan midi controller di Windows itu ribet, harus buka tutup Ableton setiap kali cabut pasang midi controller. Dan karena sudah menggunakan Mac, sekalian saya coba Logic Pro -DAW buatan Apple. Tapi tidak nyaman buat saya.
Circa 2016
Saya sudah lama tidak ngoprek musik sebenarnya. Saya akhirnya melihat kembali bagaimana perkembangan perangkat lunak open source yang saya gunakan di Linux dulu itu.
Seq24: Sejak 2010 sepertinya tidak ada pembaruan apa-apa.
ZynAddSubFX: Wow! Dulu saya ingat developmentnya sempat lama terbengkalai. Tetapi sekarang ternyata sudah berkembang jauh lebih maju. Tampilannya pun sudah jauh lebih profesional dibanding dulu.
Hydrogen: Sepertinya perkembangannya berhenti di tahun 2014. Secara tampilan tidak banyak berubah. Tapi memang dari dulu tampilannya cukup profesional sih. Setidaknya dibanding ZynAddSubFX.
QjackCtl: Terakhir update tahun 2015. Secara tampilan tidak banyak berubah. Tapi saya gak tahu sih kalau secara konfigurasi masih agak ribet seperti dulu atau tidak.
Audacity: Kalau ini sih pasti terus dikembangkan. Menurut saya Audacity ini sudah seperti The Gimp, perangkat lunak yang wajib saya install di semua komputer yang saya pegang.
LMMS: Ternyata masih terus update. Tapi saya cukup kaget, aslinya LMMS ini singkatan dari Linux MultiMedia Studio. Tapi sekarang kepanjangan itu sama sekali tidak disebutkan di websitenya. Bahkan kini LMMS tersedia untuk Windows dan Mac. Tapi masih gratis kok.
Ardour: Ini juga cukup mengejutkan. Selain tampilannya sekarang terlihat jauh lebih profesional, sekarang Ardour tersedia untuk Mac dan Windows juga. Sepertinya malah Mac jadi fokus utama. Tapi, yang agak saya sayangkan, Ardour tidak benar-benar gratis lagi seperti Ardour jaman dulu. Jadi kalau LMMS memang Free Software (gratis dan bebas), kalau Ardour adalah Open Source Software (bebas, tapi tidak gratis). Harganya sih bebas sebenarnya, pokoknya minimal 1 Dollar. Ya, setara sekali makan enak di warteg lah ya.
Tutorial
Menurut saya sih, perangkat lunak gratis ataupun open source di atas bisa jadi cukup untuk sebagian orang. Jadi tidak perlu beli DAW yang harganya lumayan seperti Ableton, FL Studio maupun Logic Pro. Tapi bagi saya masalahnya adalah tutorial. Jika penggunanya masih sangat sedikit akan sulit sekali membuat orang betah menggunakan perangkat ini. Apalagi jika untuk tujuan profesional.
Di Indonesia, untuk pengguna Ableton dan FL Studio ada komunitasnya. Ada yang bercokol di Kaskus ada juga yang lebih aktif di Facebook Grop. Jadi selain tutorialnya banyak, di sini pun bisa jadi tempat berdiskusi. Tapi saya tidak tahu, apakah di Indonesia ada komunitas untuk Ardour, LMMS, atau teman-temannya yang saya sebutkan di atas tadi. Ada yang tahu?