Tadi saya masuk ke Google Cloud Console, sebenarnya hanya untuk mematikan service yang tidak dipakai lagi. Tapi entah kenapa saya malah gak sengaja ngeklik layanan AI nya. Namanya Vertex AI. Saya bahkan gak tau ada service ini.
Iseng saya pengen coba minta AI nya untuk bikin cerpen. Tadinya mau dikasih prompt yang agak detail, pengen tahu hasilnya secanggih apa. Tapi gak sengaja kepencet ENTER duluan, eh jadi cerpennya. Memang plot cerita bisa dibilang datar aja, tapi susunan alur dan bahasanya sih gokil. Gak nyangka, padahal promptnya cuma “Tolong tuliskan cerita pendek (sekitar 1000 kata). Ada beberapa tokoh:”
Ini cerpennya:
Senja di Warung Mbah Warti
Warung Mbah Warti selalu ramai menjelang senja. Terletak di pojok desa, warung kecil dengan atap rumbia yang mulai lapuk itu seperti oase bagi warga yang lelah setelah seharian bekerja. Ada Pak Karto, si tukang becak tua yang setia menyesap kopi hitam pahit, Pak Lurah Hasan yang gemar berdiskusi tentang isu terkini, dan Bu Darmi, si penjual sayur yang cerewet, selalu punya cerita seru untuk dibagikan.
Sore itu, suasana sedikit berbeda. Seorang pemuda asing dengan ransel besar dan kamera tergantung di lehernya duduk di bangku kayu panjang. Matanya yang tajam mengamati sekeliling dengan rasa ingin tahu yang besar. Namanya Reza, seorang fotografer freelance yang sedang mencari inspirasi di desa kecil itu.
“Cari apa, Mas?” tanya Mbah Warti ramah sambil menyodorkan segelas teh hangat.
“Saya Reza, Nek. Sedang jalan-jalan saja, menikmati suasana desa,” jawab Reza sambil tersenyum.
Mbah Warti mengangguk paham. Kehadiran orang asing memang bukan hal yang biasa di desa itu. Segera, warung kecil itu riuh dengan bisik-bisik penasaran tentang siapa pemuda itu dan apa tujuannya datang ke desa mereka.
Pandangan Reza jatuh pada Pak Karto yang sedang asyik mengobrol dengan Pak Lurah. Wajahnya yang keriput dan telapak tangannya yang kasar, menandakan kerasnya kehidupan yang telah dilaluinya. Reza merasa tergerak untuk mengabadikan sosok penuh cerita itu dalam sebuah foto.
“Permisi, Pak. Bolehkah saya memotret Anda?” tanya Reza sopan.
Pak Karto terkejut. Ia belum pernah difoto seumur hidupnya. “Untuk apa, Mas?” tanyanya ragu.
“Saya ingin mengabadikan wajah-wajah Indonesia yang penuh inspirasi, Pak. Termasuk wajah Anda,” jelas Reza.
Pak Karto tertegun. Wajah tuanya tampak berbinar mendengar kata-kata Reza. Ia pun mengangguk setuju.
Reza dengan cekatan mengatur posisi Pak Karto dan mengarahkan kameranya. Cekrek! Suara rana kamera memecah keheningan. Sebuah foto memukau pun tercipta, merekam jejak waktu di wajah Pak Karto dan semangat hidup yang tak pernah padam.
Berita tentang Reza, si fotografer dari kota, menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru desa. Warga berbondong-bondong datang ke warung Mbah Warti, penasaran ingin melihat langsung dan mungkin, difoto juga.
Malam itu, warung Mbah Warti semakin ramai dari biasanya. Suara tawa dan obrolan riang bercampur dengan suara rana kamera Reza yang tak henti-hentinya mengabadikan momen-momen berharga. Ada foto Bu Darmi yang sedang tertawa lepas, anak-anak kecil yang bermain layang-layang di halaman, dan sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran di bawah pohon beringin tua.
Di antara keramaian itu, seorang gadis cantik dengan rambut panjang terurai menarik perhatian Reza. Ia duduk di pojok warung, tenggelam dalam kesendiriannya. Wajahnya yang sendu memancarkan kesedihan yang mendalam.
“Siapa dia, Nek?” bisik Reza pada Mbah Warti.
“Namanya Laras, cucu saya. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Sejak saat itu, ia menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri,” jawab Mbah Warti lirih.
Hati Reza terenyuh mendengar kisah Laras. Ia teringat akan masa kecilnya yang juga penuh cobaan setelah kehilangan ibunya di usia muda. Reza memutuskan untuk mendekati Laras.
“Hai, bolehkah aku duduk di sini?” tanya Reza lembut.
Laras hanya menatap Reza dengan tatapan kosong. Ia tak menjawab, tapi juga tak menolak.
“Aku Reza. Aku suka sekali memotret. Bolehkah aku memotretmu?” tanya Reza lagi.
Kali ini, Laras menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kamu sedang sedih. Tapi percayalah, hidup ini indah. Masih banyak hal baik yang bisa kamu syukuri,” kata Reza lembut.
Laras terdiam. Entah kenapa, kata-kata Reza menyentuh hatinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada secercah harapan di dalam dirinya.
“Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?” usul Reza. “Kamu mau kufoto, dan aku berjanji akan mengajarkanmu cara memotret yang bagus. Bagaimana?”
Laras menatap Reza dengan penuh tanya. Ia belum pernah memegang kamera seumur hidupnya.
“Dengan memotret, kamu bisa mengabadikan momen-momen berharga dalam hidupmu. Kamu juga bisa mengekspresikan dirimu melalui foto-foto yang kamu hasilkan,” jelas Reza.
Tawaran Reza membuat rasa ingin tahu Laras muncul. Perlahan, ia pun mengangguk setuju.
Senyum lebar mengembang di wajah Reza. Ia mengeluarkan kamera polaroid dari tasnya dan mengarahkannya pada Laras.
“Siap-siap ya. Satu, dua, tiga!”
Cekrek!
Seketika, sebuah foto tercetak dari kamera. Laras dan Reza tampak tersenyum bahagia dalam foto itu. Momen itu menandai awal dari persahabatan mereka dan perjalanan baru dalam hidup Laras. Malam itu, warung Mbah Warti menjadi saksi bisu lahirnya harapan dan mimpi baru di antara hiruk pikuk kehidupan desa yang sederhana.